PERPECAHAN KERAJAAN MATARAM
BAB II
ISI
A. LATAR BELAKANG PERPECAHAN MATARAM
Setelah wafatnya Sultan
Agung tahun 1645, Mataram tidak memiliki raja-raja yang cakap dan berani
seperti Sultan Agung. Kelemahan raja-raja Mataram setelah Sultan Agung
dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram
juga VOC. Akhirnya VOC berhasil juga menembus ke ibukota dengan cara
mengadu-domba sehingga kerajaan Mataram berhasil dikendalikan VOC.
VOC berhasil menaklukan
Mataram melalui politik devide et impera,
kerajaan Mataram dibagi dua melalui perjanjian Gianti tahun 1755. Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan
antara VOC, pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwana III), dan kelompok Pangeran Mangkubumi. Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak
dilibatkan dalam perjanjian ini. Pangeran Mangkubumi demi keuntungan pribadi
memutar haluan menyeberang dari mendukung kelompok pemberontak bergabung dengan
kelompok pemegang legitimasi kekuasaan yang memerangi pemberontak yaitu
Pangeran Sambernyawa. Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 ini secara de facto dan de jure
menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya
independen. Nama Giyanti
diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti
(ejaan Belanda, sekarang tempat itu
berlokasi di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo), di tenggara kota Karanganyar, Jawa Tengah.
Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi
dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang)
dikuasai oleh pewaris tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap
berkedudukan di Surakarta, sementara
wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di
dalamnya juga terdapat klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang
menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.
B. TUJUAN VOC MEMECAH BELAH MATARAM
1.
Untuk memecah belah pertahanan kerajaan Mataram Islam
2.
Untuk mengurangi kekuatan pertahanan Mataram
3.
Untuk melemahkan Mataram
4.
Untuk memudahkan
menjajah Mataram
C. PROSES PERPECAHAN MATARAM
Mataram dulunya adalah hadiah yang diberikan Kesultana
Pajang kepada Kyai Ageng Pemanahan karena jasanya yang sangat besar. Daerah
yang berpusat di Kota Gede itu sangat makmur dan ramai dalam perdagangan
sehingga pada perkembangan selanjutnya daerah tersebut menjadi daerah yang
penting dan dapat menggantikan kedudukan Pajang. Setelah wafatnya Kyai Ageng
Pemanahan pada tahun 1575 kedudukannya digantikan oleh putranya Sutowijiyo.
Sutowijoyo lah yang menjadi Raja pertama Kerajaan Mataram pada tahun 1586,
setelah kemenangan berperang melawan Pajang dan bergelar Senopati ing Alogo
Sayidin Panotogomo. (Sejarah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, 1997:83)
Senopati sangat ingin mempersatukan Pulau Jawa
termasuk Banten dibawah kekuasaan Mataram dan menguasai perdagangan di wilayah
Asia Selatan, namun pada tahun 1601 Senopati wafat setelah menaklukkan Cirebon
dan selanjutnya digantikan oleh putranya, Sultan Anyokrowati, beliau wafat pada
tahun 1613. Setelah itu muncullah Sultan Agung Anyokrokusumo, beliau mempunyai
hubungan baik dengan Portugis yang waktu itu menduduki Malaka, sebab Mataram
menggunakan Malaka untuk jalan atau pintu gerbang impor dan ekspor, sementara
itu ia melarang rakyatnya menjual beras kepada pihak Belanda. (Sejarah Daerah
Daerah Istimewa Yogyakarta, 1997:85-86)
Setelah Sultan Agung wafat, digantikan oleh
Amangkurtat I yang tidak sama sekali memperhatikan kesejahteraan rakyat karena
ia takut kalau rakyat hidupnya makmur itu akan mengancam posisinya, dan ia pun
bersikap sangat lemah terhadap pihak Belanda. Amangkurat I memonopoli
perdagangan beras dan mengadakan larangan untuk melakukan pelayaran, akibatnya
perdagangan di Pulau Jawa terhambat dan rakyat jawa tidak lagi mempunyai
kecakapan di luar.
Amangkurat melakukan berbagai kesepakatan dengan VOC
yang merupakan musuh ayahnya sendiri, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Pada 1946
dia mengadakan penjanjian kepada VOC yang berisi bahwa VOC diperbolehkan
menbangun pos-pos dagang di wilayah Mataram. Sebagai balasannya, VOC
memperbolehkan Mataram berlayar dan berdagang di wilayah kekuasaannya. Kedua
belah pihak juga saling tukar tawanan. Amangkurat sendiri menganggap bahwa hal
tersebut merupakan bukti takluknya VOC atas Mataram. Namun ternyata anggapan
itu salah ketika Mataram tergoncang akibat VOC mengusai wilayah Palembang pada
tahun 1959. Sementara hubungan dengan pihak luar lain seperti terhadap Banten
dan Makasar juga memburuk. Banten diserang oleh Mataram yeng menggunakan
Cirebon sebagai pasukannya, namun gagal. Sedangkan utusan dari Hasanuddin
dilecehkan oleh Sultan.
Para alim ulama pun juga ditentang olehnya, oleh
karena itu banyak yang menentang Amangkurat I. Sikap Amangkurat yang tidak suka
terhadap pihak ulama ini juga disebabkan karena ceramah dan ajaran Islam bisa
merusak legitimasinya sebagai raja. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa
dalam Islam mengajarkan seorang pemimpin tidaklah jelmaan Tuhan atau diutus
langsung untuk menyampaikan wahyu Tuhan. Namun karena pada masa itu sistem
Feodalisme di Jawa masih sangat kental, maka Sultan menentangnya. Ajaran Islam
dianggap akan meruntuhkan derajatnya sebagai raja. Padahal, sebelumnya
sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa sultan sebelumnya sangat menghormati
agama Islam. Sultan Agung mendorong proses Islamisasi kebudayaan Jawa(Purwadi,
2007:312). Namun Putra Sultan Agung malah terlihat merusak proses tersebut.
Ketidaksukaan terhadap Raja tidak hanya datang dari
pihak luar namun pihak di dalam Kerajaan pun juga menentangnya, penentangan
terutama datang dari Pangeran Anom yang bersekutu dengan Trunojoyo (Pangeran
dari Madura). Kerjasama kedua Pangeran ini tidak berjalan indah, sebab pada
akhirnya Pangeran Anom menjauhi Trunojoyo karena Trunojoyo adalah pihak
pemberontak, oleh sebab itu ia takut posisinya juga terancam. Melihat keraguan
dari Pangeran Anom, Trunojoyo segera menduduki Kerta pada tahun1677. Trunojoyo
memakai pasukan yang ada di wilayah Kediri yang terdiri dari pasukan
laskar-laskar Madura dan Makasar. Patut diketahui bahwa Trunajaya juga mendapat
bantuan dari Karaeng Galesong. Karaeng Galesong adalah seorang pimpinan pasukan
Makasar dan merupakan anak buah dari Hasanuddin yang telah dikalahkan oleh VOC
. Melihat saat itu memang Amangkurat I terlihat sangat dekat dengan VOC, maka
Karaeng bersedia membantu Trunajaya. Karena Kerta sudah diduduki oleh Pangeran
Anom, Amangkurat I beserta para pengikut lainnya melarikan diri ke Batavia
untuk meminta perlindungan dari pihak Belanda. Dalam pelariannya ini Amangkurat
I wafat di sebuah tempat yang bernama Tegal Arum. Oleh karena itu dia juga
disebut Sunan Tegal Arum.
Setelah berhasil menang, Trunajaya berhasil mendirikan
pemerintahannya sendiri dan menguasai hampir seluruh kekuasaan di pesisir Jawa.
Pangeran Anom yang takut tidak diberi kekuasaan oleh Trunajaya memilih lebih
memihak kepada ayahnya yang sudah bersekongkol dengan VOC. Setelah kematian
ayahnya yang mewasiatkannya untuk meminta pertolongan pada VOC. Pangeran Anom
pun bergelar Amangkurat II.
Perjanjian dengan VOC sendiri ditandai dengan
diadakannya perjanjian Jepara pada 1677. VOC mau membantu Amangkurat II asal
dengan kesepakatan yang menguntungkan pihaknya. VOC meminta setelah nanti
menang atas Trunajaya, mereka mendapat wilayah pesisir Jawa. Amangkurat II pun
sepakat dengan keputusan itu. VOC dibawah Gubernur Jenderalnya yangitu Cornelis
Speelman mengerahkan armada laut dari laskar Bugis dibawah pimpinan Aru Palaka
dari Bone. Di darat, dia mengerahkan kekuatan dari Maluku yang dipimpin Kapitan
Jonker dengan tambahan pasukan Amangkurat II sendiri. Dengan pasukan seperti
itu, Trunojoyo dapat dilumpuhkan. Dia diserahkan oleh VOC kepada Amangkurat II
dan diputuskan untuk dihukum mati. Tampaknya disini VOC memanfaatkan betul
kondisi di Mataram untuk memperkuat cengkramannya. Tidak hanya lagi dalam
bidang ekonomi, namun juga sedah merambah ke bidang politik.
Amangkurat II menjalankan betul pesan ayahnya bahwa
dia harus dekat dengan VOC. Telihat dari busana yang dia kenakan. Dia adalah
Sunan pertama yang memakai pakaian ala orang eropa. Amangkurat juga membangun
keraton baru yaitu keraton Kartasura. Hal ini dikarenakan keraton yang ada di
Plered sudah dikuasai oleh Pangeran Puger setelah kraton ditinggal oleh
Trunajaya. Amangkurat II naik tahta di Kartasura atas bantuan VOC. Namun hal
ini harus dibayar mahal oleh Amangkurat II. Perjanjian dengan VOC mengharuskan dia
membayar sebesar 2,5 juta Gulden sebagai imbalan jasa atas berkuasanya
Amangkurat di Kartasura.
Dengan beban besar dari hutang tersebut, diam-diam
Amangkurat II mencari sekutu untuk menyingkirkan VOC. Dia berkirim surat kepada
Palembang, Johor dan wilayah lainnya yang intinya untuk memerangi kekuasaan
Belanda. Amangkurat II juga menampung buronan VOC yang bernama Untung Suropati
yang dibiarkan tinggal dirumah patihnya. Pada saat VOC mengirimkan Francois
Tack untuk memburu Untung, Amangkurat II berpura-pura membantunya namun
membiarkan pasukan Untung menyerang pasukan Tack hingga kalah. Sikap mendua ini
diketahui oleh VOC yang tentu murka mendengar hal ini. Mereka mendesak kepada
Mataram(Kartasura) untuk melunasi hutang-hutangnya. Amangkurat Iiakhirnya meninggal
pada tahun 1703.
Wafatnya AmangkuratII menyebabkan pertentangan di
dalam keluarga Kerajaan Mataram. Hal ini memberi peluang bagi VOC untuk
mengobrak abrik Kesultanan Mataram. Hal pertama yang dilakukan oleh VOC adalah
membantu Pangeran Puger (adik Amangkurat II) untuk melawan putra Amangkurat II
(Sunan Mas) yang telah menjadi Amangkurat III demi merebut kekuasaan yang
dimiliki oleh Amangkurat III. Hal ini dikarenakan Amangkurat III sudah tidak
sesuai lagi dalam melakukan kerjasama yang menguntungkan pihak VOC. Jadi mereka
berusaha masuk turut campur dalam pemilihan kekuasaan di Mataram yang
seharusnya menjadi hak internal dari Mataram. VOC tentu menjalankan politik devide
et empera yang mengadu domba pihak-pihak yang berselisih dalam kekuasaan di
Kartasura. Ini juga didukung dengan adanya pihak yang bertikai yaitu antara
Pangeran Puger yang merupakan adik dari Amangkurat II dan Amangkurat III yang
merupakan anak dari Amangkurat II.
Kerasnya persaingan memperebutkan tahta antara
Pangeran Puger dan Amangkurat III makin memanas ketika Amangkurat III
memerintahkan Pangeran Puger dibunuh. Pangeran Puger yang mengetahui itu
berusaha lari ke Semarang hingga dia gagal dibunuh. Di Semarang inilah Pangeran
Puger meminta bantuan VOC untuk menyerang Amangkurat III sekaligus menyerahkan
tahta kerajaan kepadanya. Hal ini disetujui oleh VOC dengan balasan yang
menguntungkan VOC. Setelah terjadi kata sepakat maka pasukan Pangeran Puger dan
VOC menyerang Kartsura pada 1705. Menyadari hal ini, Amangkurat III menyiapkan
pasukannya di Ungaran dibawah pimpinan Arya Mataram. Namun penunjukan Arya
Mataram sebagai pimpinan pasukan ini ternyata salah. Arya Mataram yang notabene
merupakan kakak dari Pangeran Puger memilih berpihak pada Pangeran Puger. Dia
menghianati Amangkurat III dan menyuruhnya lari dari Kartasura. Amangkurat III
lari ke wilayah Ponorogo dengan membawa berbagai barang pusaka. Pangeran Puger
pun mendapatkan tahtanya dengan gelar Pakubuwono I.
Setelah melarikan diri dari keraton, Amangkurat terus
menjadi buronan Pangeran Puger dan VOC. Amangkurat III tidak diterima di
Ponorogo, dia kemudian pindah ke Madiun, ke Malang dan kemudian ke Blitar.
Sebenarnya Amangkurat III juga mendapatkan dukungan dari Untung Suropati yang
memang anti VOC. Namun Untung Suropati berhasil dikalahkan oleh pasukan
gabungan VOC. Pada tahun 1708 Amangkurat III menyerah di Surabaya dan semua
pusaka kraton akan diserahkan kepada Pakubuwono I. Dia dipenjarakan oleh VOC di
Batavia. Namun akhirnya dia diasingkan di Srilanka dengan konon membawa serta
pusaka Keraton.
Pada akhirnya Pangeran Puger berhasil dinobatkan
menjadi Sultan Paku Buwono I. Kemenangan Pangeran Puger harus dibayarnya dengan
mahal karena harus melepaskan wilayah Cirebon, Priangan dan belahan timur
Madura yang berada di bawah kekuasaan untuk VOC. (Purwadi, 2003:11-12). Tentu
jika kita mencermati sejak awal, perjanjian dengan VOC hanya menyebabkan
kerugian bagi pihak kerajaan Jawa. Wilayah mereka berkuarang, maka keadaan
ekonomi juga berhasil dikuasai oleh VOC. Memang disini terlihat kecerdikan VOC
dalam memanfaatkan konflik perebutan kekuasaan di antara penguasa Jawa.
Setelah Paku Buwono I wafat pada tahun1719, terjadi
pergolakan lagi di dalam Kesultanan Mataram, karena perebutan tahta oleh
angoota keluarga yang menentang pengganti dari Paku Buwono I, yaitu Sunan
Prabu. Kesempatan emas ini tidak dilewatkan oleh VOC untuk menanam kekuasaan di
Mataram dengan mengirimkan pasukan pasukan untuk menumpas semua pihak yang
tidak mendukung Sunan Prabu. Dapat dipastikan Sunan Prabu naik tahta dan
bergelar Amangkurat IV.
Pada masa pemerintahan Amangkurat IV ini juga terjadi
perebutan kekuasaan yang sengit seperti pada masa sebelumnya. Pangeran Blitar,
saudara Amangkurat IV tidak merestui ditunjuknya Amangkurat IV sebagai raja.
Kemudian dia mendeklarasikan diri sebagai raja di Karta, yang merupakan istana
pada masa Sultan Agung. Terjadi juga berbagai pemberontakan dari saudara
Amangkurat yang didukung oleh kaum ulama yang memang anti terhadap VOC. Namun
berkat dukungan dari VOC, Amangkurat tetap bertahta hingga meninggal pada tahun
1726.
Setelah meninggalnya Amangkurat IV, pihak VOC kembali
mendukung Pangeran muda untuk menggantikan Amangkurat IV, padahal usia dari
Pangeran tersebut masih 16 tahun, dan bergelar Paku Buwono II (Purwadi, 2003 :
13). Hal ini kembali menunjukan pada kita bahwa VOC lagi-lagi ikut campur dalam
suksesi raja di Kartasura. Tentu raja yang direstui VOC diharapkan dapat
membantu politiknya untuk semakin mengeruk keuntungan di pulau Jawa.
Beberapa lama tertindas oleh keganasan VOC pada
akhirnya muncullah pahlawan-pahlawan pembela Mataram yang bekerja sama dengan
Tionghoa (telah lama mempunyai hubungan yang tidak baik dengan VOC). VOC dengan
bantuan Cokroningrat berhasil mengalahkan para pejuang Mataram. Kekalahan yang
dialami para pejuang menyebabkan Pakubuwono yang semula berpihak pada pejuang
Mataram kembali memihak pada VOC. Keadaan seperti ini menyebabkan sakit hati
pada para pejuang Mataram. (Mochtar Lubis dalam Purwadi, 2003:13)
Sejak saat itu muncul banyak pemberontakan yang
dipimpin oleh Raden Mas Said. Pada awalnya pemberontakan itu dibantu oleh kaum
Tionghoa, tapi karena mengalami kegagalan selanjutnya pemberontakan dibantu
oleh Pangeran Mangkubumi (adik dari Paku Buwono II). Paku BuwonoII meminta
bantuan bantuan pada VOC, untuk imbalannya VOC meminta untuk intervensi atas
pemerintahan Mataram. Pada tahun1744 VOC mengirim orang untuk dijadikan kaki
tangannya yang digunakan meluluskan rencananya menguasai Mataram. Kaki tangan
VOC ini dilegalkan dalam bentuk kelembagaan yaitu menjabat sebagai Pepatih
Dalem, yang selanjutnya pemerintahan Mataram banyak dikendalikan oleh Patih
ini. Mulai saat itu kekuasaan Raja terkikis dan memudar. (Purwadi, 2003 :
15-17)
Pemberontakan juga terjadi diakibatkan adanya tokoh
yang berpengaruh saat itu seperti Arya Mangkunegaran. Sebenarnya Arya
mangkunegaran dihasut oleh Patih Cakrajaya(Danureja). Atas peran VOC pula Arya
Mangkunegaran diasingkan ke Tanjung Harapan. Pakubuwono yang juga tidak
menyenangi patihnya itu meminta VOC untuk membantunya menyikirkan patih
Cakrajaya. Tentu VOC sangat setuju dengan permintaan Pakubuwono II itu karena
itulah tujuan utama dari VOC, yaitu memecah belah para pemimpin Mataram. Patih
tersebut pun dilengserkan dan diganti dengan Patih Natakusuma. Patih yang baru
ini ternyata juga anti terhadap VOC.
Seperti yang telah diterangkan diatas bahwa terjadi
pemberontakan yang terjadi dari orang-orang Cina. Pemberontakan ini diawali
dengan terjadinya pembantaiaan akan etis Cina oleh bangsa eropa di Batavia.
Orang Cina yang tersisa tidak terima dan menyingkir ke wilayah timur. Disini
banyak pihak yang mendesak Pakubuwono II untuk membantu orang Cina tersebut.
Pakubuwono pun menyetujuinya dan mengirimkan 20.000 pasukannya untuk menyerang
pos-pos VOC. Pada awal perang ini, VOC berhasil didesak oleh pasukan Pakubuwono
dan orang-orang Cina.
Disinilah VOC mendapatkan bantuan dari Cakraningrat IV
yang berkuasa di Madura menawarkan membantu VOC. Sudah sejak lama memang Madura
tidak suka dengan kepemimpinan Kertasura yang dianggapnya bobrok. VOC tentu
senang sekali dengan bantuan yang diberikan ipar Pakubuwono tersebut. keadaan
pun berbalik, pasukan Cina berhasil dipukul mundur oleh VOC. Pada Maret 1742,
VOC berhasil menguasai Kartasura dan membuat perjanjian damai dengan PakubuwonoII.
Cakraningrat IV sebenarnya meminta agar Pakubuwono dibuang, namun ternyata VOC
menolak hal tersebut karena Pakubuwono dianggap masih dibutuhkan. Cakraningrat
yang takut bahwa VOC tidak akan membantu kemerdekaan Madura akhirnya menyetujui
Pakubuwono II kembali memerintah di Kartasura.
Disinilah tanpa diduga pasukan Cina yang kalah tadi
telah dimasuki banyak pejuang Jawa yang anti VOC. Mereka berhasil merebut
keraton Kartasura dan memaksa Pakubuwono II serta VOC menyingkir ke Ponorogo.
Namun pada tahun 1743, Kartasura berhasil dikuasai lagi setelah pemimpin
pemberontak yaitu Sunan Kuning ditangkap. Berdasar adat Jawa, karena Keraton
sudah hancur dan pernah dikuasai musuh, maka harus ada pergantian tempat.
Disinilah awal mula dibangunnyan kraton Surakarta yang masih bertahan Hingga
sekarang.
Banyak terjadi perang saudara pada saat kepemimpinan
Paku Buwono II. Perang saudara yang telah terjadi mengakibatkan stabilitas
politik dan keamanan yang kacau balau juga menghabiskan banyak dana dan
mengakibatkan Mataram mempunyai hutang yang berlipat ganda dengan bunga yang
sangat besar kepada VOC. Dalam keadaan sakit parah Susuhunan Paku Buwono II
dipaksa oleh VOC untuk menandatangani surat perjanjian yang isinya penyerahan
seluruh Kerajaan Mataram di bawah kekuasaan VOC, pada waktu itu VOC dipimpin
oleh Gubernur Jendral Gustaf Wilem Baron Van Imhof. Setelah ditandatanganinya
perjanjian tersebut secara otomatis Kekuasaan Mataram telah pudar dan semua
pemerintahan dibawah kendali VOC, dengan demikian kekuasaan Raja tidak ada
fungsinya lagi. Puncak kebangkrutan Mataram terjadi pada saat-saat tersebut.
(Purwadi, 2003 : 16-17)
Tidak
selang beberapa lama dari perjanjian tersebut Paku Buwono II turun tahta dan
terjadi vakum dalam Kerajaan Mataram. Kemudian diangkatlah Paku Buwono III.
Setelah penobatan Sultan baru ini terjadi peperangan yang berkepanjangan antara
pihak Kraton yang dibantu oleh VOC dengan Pangeran Mangkubumi yang bekerjasama
dengan Raden Mas Said. Perang Gerilya berlangsung selama 6 tahun lamanya
(1749-1755). Setelah peperangan yang berlangsung lama tersebut, akhirnya VOC
mengadakan perjanjian baru yaitu Perjanjian Gianti yang pada intinya berisi
bahwa membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, Pangeran Mangkubumi (Sultan
Hamengku Buwono) diberi setengah Kerajaan Mataram dengan ibukota Yogyakarta dan
setengahnya lagi dibawah kepemimpinan Paku Buwono III dengan ibukota Surakarta.
Perjanjian Gianti ini ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755. Pembagian
negara ini juga diikuti dengan perbedaan budaya, yang selanjutnya kebudayaan
ini juga bersaing satu sama lainnya sehingga tidak jarang menimbulkan
perselisihan. (Purwadi, 2003 : 17-19)
Kejadian tersebut menunjukkan betapa hebatnya peranan
dan politik yang diterapkan VOC sehingga dapat mendalangi perang saudara antara
para penguasa di Mataram dengan cara memberikan benih perpecahan secara terus
menerus. Setelah keadaan Mataram terpecah pun VOC tetap tidak berhenti untuk
mengacaukan hubungan an tara kedua pemuka Keraton tersebut. Ada saja masalah
yang bisa ditimbulkan oleh VOC, salah satunya adalah masalah batasan wilayah,
dengan masalah tersebut VOC seolah-olah berperan sebagai pihak pendamai,
padahal VOC merupakan dalang dari semua masalah yang ada. Tampak bahwa
kekuasaan politik Raja-raja Jawa sudah diambil oleh VOC. Bahkan pada masa
selanjutnya, VOC mendapatkan kekuasaaan penuh. Kedaulatan Sunan di Surakarta
sejak tahun 1749 boleh dikatakan sudah hilang. Pengaruh sistem administrasi
kolonial Belanda semakin menguasai kehidupan politik Kasunanan Surakarta(Imam
dkk,2010:17). Hampir seluruh wilayah Surakarta dan Yogyakarta di bangun benteng
untuk mengawasi gerak gerik dari kedua belah pihak tersebut, sehingga
seakan-akan kedua wilayah tersebut dikepung oleh VOC. Tindakan VOC tersebut
dilatar belakangi karena kecemasan terhadap kemajuan wilayah Mataram Surakarta
dan wilayah Mataram Yogyakarta. (Purwadi, 2003 : 20)
D. AKHIR
Lahirnya
negara moderen Republik Indonesia dengan
Proklamasi 17 Agustus 1945 di jawa Tengah segara disambut serta didukung penuh
oleh keempat Dinasti wangsa Mataram di Surakarta
dan di Yogyakarta. Pada tanggal 1
September 1945 Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran mengeluarkan Maklumat yang isinya bahwa Kasunanan
dan Mangkunegaran merupakan wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
dengan status daerah istimewa dan kepala daerah istimewa yaitu
Sunan dan Adipati bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Demikian
juga sehubungan dengan hal ini di Yogyakarta pada tanggal 5 September 1945 Kasultanan dan
Kadipaten Paku Alaman juga mengeluarkan Maklumat yang isinya kurang lebih sama
yaitu Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman merupakan wilayah dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan kepala daerah istimewa
bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Dalam persoalan daerah istimewa antara Surakarta
dengan Yogyakarta ditemukan beberapa perbedaan;
a. Di Surakarta Kasunanan dan Mangkunegaran masing
masing berdiri sebagai daerah istimewa karena hal ini mengacu pada fakta
sejarah keduanya yang pada zaman pendudukan Jepang pemerintahan mengakui masing
masing sebagai daerah istimewa yang dikenal dengan sebutan koochi dan kepala
daerah istimewa disebut sebagai koo.Dari zaman Jepang ini kemudian dikenal
adanya Surakarta Koochi dengan pembesar daerah istimewa nya adalah Surakarta koo yaitu Sunan, sedang yang satunya lagi adalah
Mangkunegaran koochi dengan
pembesar daerah istimewa nya adalah Mangkunegara
koo.Pada bulan Juli 1946 Sunan Pakubuwono XII menyerahkan pemerintahan
keistimewaan kepada pemerintah negara Republik Indonesia yang beribukota di
Yogyakarta. Penyerahan Pakubuwono XII ini tidak diikuti oleh pihak
Mangkunegaran. Pihak Kasunanan gagal menjalankan pemerintahan keistimewaan
karena tidak mampu membendung kekuatan desakan anti swapraja yang dimotori oleh
para kerabat Sunan sendiri. Mangkunegaran sebaliknya masih bertahan dan
berupaya untuk tetap mengibarkan keistimewaannya dengan kebijakan Mangkunegara
VIII
b. Di Yogyakarta Kasultanan dan Paku Alaman
secara bersama sama menggabungkan wilayahnya kedalam daerah istimewa Yogyakarta
dengan Sultan sebagai pembesar daerah istimewa sedang Paku Alam sebagai wakil
pembesar daerah istimewa.
c.
Kelanjutan daerah istimewa di Surakarta dan Mangkunegaran kemudian mengalami
hambatan karena mendapat penentangan dari kelompok yang tidak menginginkan
keberadaan swapraja sehingga Kasunanan dan Mangkunegaran untuk menyelamatkan
dari pertikaian disatukan dalam karesidenan.
d. Di
Yogyakarta keberlanjutan daerah istimewa tidak mengalami hambatan dan Sultan Hamengku Buwono IX dengan Adipati Paku Alam yang ke VIII dalam satu
paket menjadi Kepala Daerah istimewa
dan wakil Kepala daerah
istimewa. D. RM.Said yang terkenal dengan gelar Pangeran Sambernyawa sebagai Founding Father dari kadipaten yang
didirikannya dalam perjanjian menyatakan ketundukannya pada Kasunanan Surakarta yang dituangkan dalam perjanjian Salatiga tetapi pada
realitasnya membentuk Mangkunegaran
yang otonom yang pada akhirnya
pada zaman Mangkunegara VI lepas ikatan dengan Kasunanan. Dengan posisi yang
otonom ini Jepang mengakuinya
sebagai wilayah istimewa disamping wilayah istimewa Surakarta yang dipegang
oleh Sunan. Di Surakarta wilayah daerah istimewa dengan melihat sejarah kedua
keraton yang ada di kota ini menjadi lain karena jauh sebelum kemerdekaan
Indonesia kedua keraton memiliki hubungan yang otonom sehingga tidak
memungkinkan untuk mendudukan dalam satu paket untuk daerah istimewa Surakarta
bahwa Sunan adalah kepala daerah istimewa dan Adipati Mangkunegara sebagai
wakil kepala daerah istimewa.Mengacu pada masa Jepang disini dapat dikatakan
bahwa keduanya; Sunan dan Adipati adalah para Koo yaitu para pembesar daerah
istimewa.
e. Kalau
di Yogyakarta antara Kasultanan dan Paku Alaman dapat melenggang dalam satu paket
kepemimpinan daerah istimewa persoalannya bukan karena kompak atau tidak kompak
tetapi perkembangan masyarakat dan keraton dalam perjuangan menegakkan Republik
Indonesia dalam rongrongan Belanda bukan isapan jempol belaka melainkan nyata.
Kasultanan dan Paku Alaman bisa mencapai kata sepakat untuk memasuki tatanan
dunia baru yaitu Republik Indonesia.Dua
daerah swapraja; Kasultanan dan Paku Alaman bergabung kembali menjadi utuh dan
merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Gabungan wilayah Kasultanan yogyakarta dengan wilayah
Kadipaten Paku Alaman ini disebut sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta
f.
Dengan dasar perbedaan di Surakarta dan Yogyakarta selanjutnya dalam bulan
Agustus 1945 sampai tanggal 16 Juni 1946 yang namanya Daerah istimewa
Surakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia itu memang pernah ada.
Daerah Istimewa ini dipimpin dan diperintah bersama. Pada Oktober 1945, berdiri
gerakan Swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta yang bertujuan untuk
membubarkan Mangkunegaran dan Kasunanan.Motifasi dari gerakan anti monarki di
Surakarta ternyata menyimpan tujuan lain dari sekadar pembubaran dua monarki di
kota Bengawan itu. Dua monarki hendak dibubarkan karena gerakan anti monarki
bertujuan untuk merampas tanah tanah Mangkunegaran dan Kasunanan untuk dibagi
bagikan kepada rakyat. Pada tanggal 16 Juni 1946 Daerah Istimewa Surakarta
diganti menjadi daerah Karesidenan. Pergantian ini dilakukan karena status
Daerah Istimewa dengan gerakan anti monarki menimbulkan kerusuhan, pencullikan
serta pembunuhan. Daerah Surakarta menjadi daerah dalam keadaan bahaya.Status
ke dua keraton selanjutnya menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.
g. Untuk
Yogyakarta meski status sebagai daerah Istimewa goal namun mengalami kegagalan
dalam menerapkan sistem pemerintahan kerajaan di wilayah Yogyakarta. Semula
Sultan Hamengkubuwono IX mengangkat dan menunjuk para pejabat di lingkungan
kepatihan yang berasal dari para kerabat namun karena kontrol dari pusat
sebagai kebijakan Presiden Soekarno yang karena alasan alasan ideologis, maksud
Sultan menjadi gagal. Kegagalan ini berlanjut ketika iklim pergantian kekuasaan
dan politik terjadi tahun 1965-1966.Dengan masih mempertahankan Sultan dan Sri
paduka Paku Alam sebagai kepala daerah dan wakilnya, untuk jabatan yang lain
seperti Walikota dan Bupati juga posisi strategis banyak dijabat oleh kalangan
militer.
h.
Republik Indonesia yang berdiri 1945 memiliki "claim" bahwa wilayah
negara proklamasi ini adalah bekas Hindia Belanda. Nah disinilah akar
permasalahannya untuk suatu daerah yang harus disebut sebagai "Yang
Istimewa". Apakah daerah swapraja adalah wilayah Hindia Belanda pada masa
itu jauh sebelum Republik ini berdiri 17 Agustus 1945 sebagai sebuah negara?
Soekarno
kemudian menata ulang konsep tata ruang kota mengikuti pola pola kota kerajaan
dengan membangun Monumen Nasional dan tempat peribadatan umat muslim.Istana
sekarang benar benar mengikuti pola lama kerajaan Jawa masa lalu; ada istana,
tempat peribadatan, lapangan terbuka dan tugu atau monumen sebagai lambang yoni
dalam paham Jawa masa lalu.
Soekarno
sebagai Presiden Republik Indonesia dalam memimpin negara memadukan unsur unsur
pengetahuan moderen dengan kultur nusantara dan dari berbagai kultur nusantara
itu kultur dari Jawa sedikit menonjol
dalam kepemimpinannya.
Soekarno
merangkul para raja raja dan penguasa lokal di nusantara untuk bersama sama
membangun negeri dan menjaga kultur yang telah menjadi ciri setempat kedalam
integralitas kultur Indonesia.Soekarno menjadi representasi dari rakyat dan
penguasa dalam menggantikan peran Belanda mengatur negeri.
BAB III
PENUTUP
A. RANGKUMAN
VOC berhasil menaklukan
Mataram melalui politik devide et impera, kerajaan Mataram dibagi dua melalui
perjanjian Gianti tahun 1755. Sehingga Mataram yang luas hampir meliputi
seluruh pulau Jawa akhirnya terpecah belah :
1. Kesultanan Yogyakarta, dengan Mangkubumi sebagai raja
yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I.
2. Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku
Buwono III.
Belanda ternyata belum puas
memecah belah kerajaan Mataram. Akhirnya melalui politik adu-domba kembali
tahun 1757 diadakan perjanjian Salatiga. Mataram terbagi 4 wilayah yaitu
sebagian Surakarta diberikan kepada Mangkunegaran selaku Adipati tahun 1757,
kemudian sebagian Yogyakarta juga diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati
tahun 1813.
Setelah Indonesia merdeka,
Soekarno merangkul raja-raja utnuk bersatu menjadi kesatuan Republik Indonesia.
kasultanan yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan dan Kasultanan Pakualaman yang
dipimpin oleh Paku Alam memutuskan untuk bersatu kembali dengan Sultan sebagai
gubernur Yogyakarta dan Paku Alam sebagai wakilnya. Sedangkan Kasunanan tetap
terpisah menjadi dua sampai sekarang.
Comments
Post a Comment
Terimakasih telah membaca. komentar Anda sangat bermanfaat untuk penigkatan kualitas blog ini