ARTIKEL UANG
Jaman
Pemerintahan Hindia Belanda (1602-1942)
Uang kertas tertua di Indonesia
tercatat keluar pada tahun 1782, dimana peredarannya hanya terbatas di kawasan
Ambon, Banda, Batavia / Jakarta dan Ternate. Bentuk uang kertas ini sangat
sederhana sekali, mirip bon atau pamflet kecil, dan dapat dikatakan sebagai
uang "sebelah" karena hanya dicetak dibagian muka dengan menggunakan
mesin stensil, sedangkan bagian belakang masih dibiarkan kosong. Uang ini
dicetak dalam jumlah sedikit. Peredarannya hanya terbatas pada kalangan Belanda
dan orang pribumi tertentu (golongan ningrat / bangsawan / pedagang ). Seperti
uang kertas masa kini, uang tersebut pun memiliki tanda tangan dan stempel
penguasa saat itu, yaitu VOC.
Uang ini dikeluarkan sampai tahun
1855 dan sedikit demi sedikit ada perbaikan di bidang bentuk dan penampilan,
dan mulai memiliki nilai nominal dan pengamanan, seperti uang kertas 1 Gulden
1815 seri "Kreasi", dimana sudah menggunakan ornamen sebagai garis
tepi (border), sudah menggunakan pengamanan karena kertas uang yang digunakan
adalah kertas bergaris, dan yang menarik disini adalah telah digunakan bahasa
Arab-Melayu dan bahasa Belanda.
Javasche Bank adalah instansi yang
berperan aktif dalam hal moneter di Hindia Belanda setelah kejatuhan VOC.
Mereka mulai ambil bagian pada tahun 1828, dimana mereka mengedarkan satu seri
biljet Javasche Bank yang masih berupa uang "sebelah", tapi sudah
semakin maju, dimana setiap mata uang yang dikeluarkan sudah memiliki nomer
seri dengan tulisan tangan, dan pada tahun 1832 dikeluarkan seri Tembaga,
dimana uang kertas ini mirip dengan kwitansi yang kita kenal sekarang. Pada
tahun 1846 diedarkan uang seri "Recipes", kemudian tahun 1851
diedarkan uang seri "biljet Javasche Bank".
Keterangan:
kiri: Uang kertas De Javasche Bank nominal 10 Gulden seri Bingkai/Frame
kanan: Uang kertas De Javasche Bank nominal 200 Gulden, gambar J.P.Coen dan Merkurius
Sedangkan uang kertas yang lengkap
dan utuh, dimana kedua permukaanya terisi penuh dengan gambar / huruf / ornamen
seperti umumnya uang kertas masa kini, baru muncul sekitar tahun 1864 dengan
dikeluarkan seri "Bingkai / Frame" tulisan dan ornamen yang ada tidak
lagi didominasi dengan warna tinta hitam, melainkan sudah bervariasi dengan
penggunaan beranekaragam warna, dan sudah menggunakan teknologi modern
"tanda air / watermark" berupa tulisan "Javasche Bank".
Dari segi artistik dan mutu kertas, dari tahun ke tahun sudah semakin baik, dan
hal ini berlanjut hingga masuknya Jepang pada tahun 1942. yang menarik dari
uang ini adalah sudah digunakan 4 bahasa: Belanda, Cina, Jawa & Melayu
dengan menggunakan huruf Arab Gundul. Pada tahun 1873 dikeluarkan uang seri
"Frame 2", dan pada tahun 1897 dikeluarkan uang seri "Coen
Mercurius".
Ciri khas yang mendominasi pada uang
kertas Hindia Belanda pada periode ini adalah digunakan gambar / potret
"Jan Pieterszoon Coen" baik berupa gambar kepala ataupun lengkap
seluruh badan. Jan Pieterszoon Coen adalah Gubernur Jendral yang berpengaruh pada
tahun 1618–1629, dimana dia adalah pendiri kota Batavia yang sebelumnya bernama
Jacatra dan sekarang bernama Jakarta. Dibawah kepemimpinanya, VOC berhasil
menguasai kepulauan Nusantara dengan politiknya yang terkenal "Devide et
Impera" (Politik adu domba). Seri ini berlanjut dengan dikeluarkan seri
"Coen 1" pada tahun 1901.
Variasi lain uang kertas jaman
Hindia Belanda adalah uang kertas seri munbiljet Wilhelmina, dimana pada bagian
depan terpampang potret ratu Belanda tersebut, sedang bagian belakang
terpampang lambang kerajaan Belanda "Crowned Dutch". Uang ini muncul
pertama kali pada tanggal 4 Agustus 1919 dan hanya memiliki 2 pecahan saja,
yaitu 1 gulden dan 2 ½ Gulden sehingga dinamakan seri munbiljet.
Kemudian
berturut-turut dikeluarkan
Seri 'Gedung Javasche Bank', tahun 1919, di bagian depan uang ini terpampang gambar gedung Javasche Bank di Batavia
Seri 'Muntbiljet', tahun 1920
Seri 'Coen 2', tahun 1925
Seri 'Wayang'
Seri 'Gedung Javasche Bank', tahun 1919, di bagian depan uang ini terpampang gambar gedung Javasche Bank di Batavia
Seri 'Muntbiljet', tahun 1920
Seri 'Coen 2', tahun 1925
Seri 'Wayang'
Pada tahun 1933, Javasche Bank
mengeluarkan seri uang bergambar "wayang orang" dengan nominal
pecahan 5 gulden sampai 1.000 Gulden. Penampilan uang kertas ini sangat indah
dibandingkan dengan uang kertas Hindia Belanda lainya, dimana secara grafis
uang ini kaya akan warna dan sangat artistik. Pada tahun 1940 keluar lagi uang
kertas Hindia Belanda seri Munbiljet, dimana yang menarik dari seri ini adalah
pada pecahan 1 guldennya di bagian belakangnya menggunakan gambar "Stupa
candi Borobudur", dan mungkin pada saat itu pemerintahan Hindia Belanda
mengakui keindahan candi Borobudur dan mengabadikannya di dalam uang kertasnya.
1 Gulden Muntbiljet, dengan 2 design gambar stupa Borobudur yang berbeda, di bagian belakang (reverse)
Disamping uang resmi pemerintahan
Hindia Belanda, pada saat itu juga diberlakukan sejenis alat tukar yang disebut
sebagai "uang partikelir" atau uang kupon. Uang ini hanya beredar di
kawasan perkebunan. Sebagaimana diketahui selain dari monopoli dagang,
pemerintah Hindia Belanda juga mengambil keuntungan sepihak dari usaha-usaha
perkebunan di wilayah jajahannya. Perkebunan ini pada umumnya dipegang oleh
teknokrat Belanda atau para tuan tanah. Perkebunan-perkebunan tersebut
menggunakan tenaga kuli kontrak yang diupah dengan upah yang sangat rendah.
Untuk membayar para kuli, penguasa perkebunan mencetak uang sendiri berupa
kupon-kupon bernominal dari 10 sen sampai 1 gulden. Uang partikelir ini berupa
kupon-kupon yang pada umumnya dicetak di atas karton tebal selebar kartu nama,
dan hanya berlaku di kawasan perkebunan itu saja. Dengan kupon-kupon inilah para
kuli membeli beras, garam, gula, minyak dan kebutuhan lainnya.
Ada pendapat uang partikelir ini
diciptakan untuk memudahkan para kuli kontrak untuk berbelanja dalam memenuhi
kebutuhan hidup, karena mereka tidak perlu berbelanja di luar perkebunan, sehingga
tidak perlu berjalan jauh ke kota, mengingat letak perkebunan pada umumnya
terpencil atau jauh dari permukiman kota. Tapi ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa maksud sebenarnya diberlakukan uang partikelir tersebut agar
para kuli tidak melarikan diri, sebab di luar perkebunan uang partikelir
tersebut tidak laku. Dengan demikian jika seorang kuli melarikan diri sebelum
kontraknya habis, menjadi terjerat oleh langkahnya sendiri karena tidak
sepeserpun uang yang dimilikinya. Atau pendapat lain yang mengatakan agar uang
yang dikeluarkan pihak perkebunan untuk membayar gaji bisa kembali lagi ke
tangan penguasa perkebunan tersebut. Perkebunan yang mengeluarkan uang
partikelir antara lain : Asahan Tabak Maatschapaij, Tanjung Pasir Estate,
Bandar Poeloe Estae, dll
Jaman
Pemerintahan Dai Nippon (Pendudukan Jepang, 1942-1945)
Antara tahun 1942-1945, di Indonesia
pernah beredar mata uang kertas "gulden" Jepang. Seperti tercantum
dalam sejarah, 5 Maret 1942 Batavia jatuh, tiga hari kemudian Belanda bertekuk
lutut di Bandung. Jepang mulai unjuk gigi atas tanah Indonesia. Secara militer
memang Jepang telah menguasai tanah jajahan, tetapi belum secara arti ekonomi.
Sektor perekonomian seperti umumnya tujuan utama penguasaan sebuah wilayah
melalui perang belumlah diraih Jepang. Untuk itulah Jepang membekukan mata uang
yang tengah beredar, dimana Gulden Hindia Belanda diusahakan ditarik secepatnya
dari peredaran, dan sebagai penggantinya Jepang mengeluarkan uang baru.
Uniknya, Jepang masih menggunakan istilah Gulden untuk uang barunya tersebut.
Bedanya jika Gulden Belanda dikeluarkan oleh Javasche Bank, maka Gulden Jepang
diterbitkan dengan nama "De Japansche Regeering" yang bernominal 1
sen sampai 10 Gulden. Pada tahun 1943 dikeluarkan lagi uang kertas, tapi kali
ini tidak memakai istilah gulden, melainkan dengan istilah "roepiah"
dan diterbitkan oleh "Dai Nippon Teikoku Seihu". Untuk pertama
kalinya kata "roepiah" ditulis dengan huruf latin. Nominal dari seri
ini adalah dari ½ roepiah sampai 100 roepiah. Beberapa panorama Indonesia
ditampilkan dalam uang kertas ini seperti petani dan kerbau membajak sawah pada
pecahan 1 roepiah, rumah adat masyarakat Batak pada pecahan 5 roepiah, profil
tokoh wayang "Gatotkaca" dan stupa candi Borobudur pada pecahan 10
dan patung "Wisnu" menungang "Garudayasa" dan wayang kulit
"Arjuna" pada pecahan 100 roepiah. Juga diterbitkan seri lain yang
bertuliskan "Pemerintah Dai Nippon" yang hanya beredar pecahan 100
roepiah saja sedangkan pecahan 1.000 roepiah tidak sempat diedarkan. Pada awalnya
pemerintah Jepang memberikan nomor seri di setiap lembar uang kertas pecahan
besar seperti 1, 5 dan 10 gulden sebagai indikasi jumlah uang yang diedarkan,
akan tetapi belakangan tidak dituliskan lagi, sehingga masyarakat tidak
mengetahui berapa banyaknya uang kertas yang telah diedarkan oleh Jepang
sesungguhnya, dan hal ini sangat berbahaya dari segi moneter. Bukan tidak
mungkin uang ini dicetak sedemikian banyak tanpa jaminan logam berharga
sebagaimana konsensus International. Oleh karena itu lambat laun masyarakat
tidak percaya terhadap uang Jepang dan lebih percaya pada uang lama yakni
Gulden Hindia Belanda, walaupun penguasa Jepang telah menyatakan tidak berlaku.
Memang menarik suatu jenis mata uang dari peredarannya pada umumnya membutuhkan
waktu yang lama, dan hal ini berlaku pada Gulden Hindia Belanda, dimana pada
kenyataannya di jaman Pendudukan Jepang, uang Belanda baik yang koin maupun
yang kertas tetap beredar di masyarakat secara luas.
Jaman
Pemerintahan Republik Indonesia (1945-Sekarang)
(1)
Periode Revolusi Kemerdekaan (1945–1949)
Setelah Jepang menyerah kalah pada
sekutu pada bulan Agustus 1945, dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada
tanggal 17 Agustus 1945, kondisi perekonomian di Indonesia tidak kunjung
membaik, malah sebaliknya tambah lama semakin menjadi buruk dimana harga-harga
melambung tinggi di luar jangkauan daya beli masyarakat. Kondisi ini semakin
diperburuk lagi setelah pendaratan sekutu di tanah air pada tanggal 29
September 1945 yang diboncengi oleh pasukan tentara Belanda (NICA) di bawah
pimpinan Dr.H.J. van Mook. Pada masa itu tentara Sekutu merampas Oeang Jepang
dari tangan Jepang di Jakarta sejumlah 2.000 juta roepiah dan oleh tentara
sekutu, uang tersebut dihambur-hamburkan di tengah masyarakat, akibatnya harga
barang naik terus menerus setiap hari, inflasi semakin tidak terkendali dan
roepiah Jepang semakin tidak dipercayai oleh kaum pedagang karena nilainya yang
terus menerus turun dibandingkan dengan harga barang.
Setelah memproklamirkan kemerdekaan
RI, pemerintah RI menyadari belum mampu untuk mengeluarkan mata uangnya
sendiri, sehingga melalui Maklumat Presiden RI no. 1 / 10 pada tanggal 3
Oktober 1945, pemerintah menetapkan untuk sementara waktu masih memberlakukan 3
jenis mata uang di seluruh wilayah RI, yaitu uang De Javasche Bank, uang
Pemerintah Hindia Belanda, dan uang pendudukan Jepang. Sejalan dengan
berputarnya waktu, pemerintah RI berusaha keras untuk dapat mencetak dan
menerbitkan uang kertas Indonesia, dimana pada akhirnya usaha keras tersebut
menghasilkan buahnya yaitu pada tanggal 30 Oktober 1946 dengan diterbitkanya
emisi pertama uang kertas ORI (Oeang Repoeblik Indonesia). Adapun pengumumannya
kepada seluruh rakyat Indonesia disampaikan sendiri oleh wakil Presiden RI, Drs
Moh. Hatta pada tanggal 29 Oktober 1945.
Dasar hukum penerbitan ORI adalah:
- UU No. 17/1946 tanggal 1 Oktober 1946 tentang pengeluaran ORI
- UU No. 19/1946 tanggal 19 Oktober 1946 tentang nilai tukar 1 rupiah ORI sama dengan 50 rupiah uang Jepang di pulau Jawa atau 100 rupiah uang Jepang di Pulau Sumatra dan ditentukan juga bahwa setiap sepuluh rupiah ORI bernilai sama dengan emas murni seberat 5 gram. Keputusan Mentri keuangan RI No. Ss / 1 / 35 tanggal 29 Oktober 1946 tentang berlakunya secara sah ORI sejak tanggal 30 Oktober 1946 pukul 00:00, serta jangka waktu penarikan uang Hindia Belanda dan uang pendudukan Jepang dari peredaran.
Dengan beredarnya mata uang ORI,
harga-harga barang berangsur-angsur kembali normal seperti sebelum pecah
perang, akan tetapi apa daya ekonomi sudah porak poranda, dimana rakyat banyak
yang sudah tidak memiliki apa-apa, sehingga pemerintah Indonesia pada saat itu
menyelenggarakan usaha pembagian uang RI kepada rakyat kecil, dimana setiap
satu jiwa berhak memperoleh 1 rupiah, dan untuk setiap kepala keluarga ditambah
dengan sebesar 3 sen. Pada masa tersebut hampir di setiap kampung banyak orang,
baik tua, muda dan bayi ikut antri dalam pembagian uang. Sedangkan sebelumnya
dari pihak sekutu, dengan pengumuman dari Panglima Sekutu, Sir Montagne
Stopford pada tanggal 6 Maret 1946 mengumumkan bahwa hanya uang NICA saja yang
berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah pendudukan sekutu. Uang ini
dicetak di America oleh perusahaan "American Banknote Company" pada
tahun 1943 dan bergambar utama "Ratu Wilhelmina" dan kemudian dikenal
dengan istilah "Uang Merah". Sisa-sisa pemerintah Hindia Belanda
dalam pengasingannya di Australia setelah Belanda kalah dari Jepang memang
mencetak uang tersebut dalam rangka mempersiapkan diri kembali ke Indonesia
manakala Jepang dapat dikalahkan dalam Perang Dunia II. Jadi pada saat itu uang
NICA dan uang rupiah Jepang beredar bersama-sama, karena untuk daerah
pendudukan memang beredar uang NICA sedangkan untuk daerah lainnya beredar uang
rupiah Jepang, dan memang uang NICA hanya mempunyai kegunaan yang kecil yang hanya
dapat digunakan untuk membeli barang-barang import/kaleng yang dijual di toko
darurat dan dalam jumlah sangat terbatas, sedangkan uang rupiah Jepang
diperlukan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya seperti sayuran,
beras, ikan dan lain-lain. Karena itulah nilai tukar uang NICA terus merosot
terhadap uang rupiah Jepang, yang pada awalnya ditetapkan 1 rupiah Jepang sama
dengan 3 sen uang NICA atau dengan kata lain 33:1, di bulan berikutnya nilainya
turun menjadi 25:1 dan bahkan sampai 20:1. Di toko-toko seringkali terjadi
perselisihan yang tak jarang berakhir dengan kematian, contohnya ada seorang
pedagang dari Cideng Barat ditembak mati oleh oknum serdadu KNIL karena
pertengkaran kurs uang Jepang. Serdadu tersebut memaksakan belanja dengan kurs
1:33, sedangkan pedagang hanya mau menerima jika kurs 1:20, karena dia menukar
di luaran juga berdasarkan kurs 1:20. Sementara itu barang-barang keperluan
hidup terus naik, karena uang Jepang semakin hari semakin berkurang tersedot ke
daerah pedalaman yanag menghasilkan barang-barang.
Selain dari ORI dan uang NICA juga
dikenal pula ORIDA (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah) atau mungkin lebih tepat
disebut URIDA (Uang Republik Indonesia Daerah). Uang ini dikeluarkan oleh
pemerintah-pemerintah daerah tingkat provinsi, karesidenan dan bahkan kabupaten
semasa perang kemerdekaan 1947–1949. Pada prinsipnya, URIDA ini terbit atas
ijin pemerintah pusat RI guna memecahkan masalah kekurangan uang tunai di
daerah-daerah akibat terputusnya jalur komunikasi normal & suply uang
antara pusat dan daerah, karena kian meluasnya daerah pendudukan Belanda
sebagai akibat agresi militer I Belanda 21 Juli 1947 dan agresi militer II
Belanda 19 Desember 1948. URIDA pertama di Jawa adalah "Uang kertas
Darurat untuk daerah Banten" pada tanggal 15 Desember 1947 dan uang ini
dicetak di kota Serang, Banten. Sedangkan URIDA pertama di Sumatra adalah URIPS
(Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatra) pada tanggal 31 Maret 1947 dan uang
ini dicetak di Pematang Siantar, dan sebagai akibat dari agresi militer I
Belanda, percetakan tersebut akhirnya dipindahkan ke Bukittingi, karena saat
itu Pematang Siantar dikuasai oleh Belanda. Jadi di daerah-daerah wilayah RI
selain beredar uang ORI berlaku untuk seluruh kawasan Indonesia, beredar pula uang
daerah yang hanya berlaku di wilayah itu saja.
Akibat agresi militer II Belanda 19
Desember 1948, kota Yogyakarta diduduki Belanda, sebagian pemimpin RI ditangkap
dan diasingkan ke pulau Bangka, namun perjuangan gerilya dan diplomasi berjalan
terus dengan adanya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin
oleh Mr.Sjafruddin Prawiranegara di Sumatra Barat. Pada masa itu, Belanda
mendukung terbentuknya negara-negara yang berwilayah provinsi / karesidenan
yang kemudian bergabung kedalam Badan Permusyawarata Federal atau Bijeenkomst
voor Federal Overleg (BFO).
Pada masa itu pulalah De Javasche
Bank menerbitkan uang kertas dari pecahan 5 sampai 1.000 Gulden dengan tahun
emisi 1946 dan pada tahun 1948 menerbitkan pecahan ½, 1 dan 2 ½ Gulden. Mata
uang inilah yang seringkali disebut sebagai uang "Federal".
Perkembangan pasca 19 Desember 1948 memungkinkan peredaran uang federal hampir
mencapai seluruh wilayah Indonesia kecuali Irian Barat yang pada saat itu masih
berlaku uang Nederlands Nieuw Guinea. Tanggal 29 Juni 1949, Belanda
meninggalkan kota Jogjakarta dan pemerintahan pusat RI kembali berfungsi lagi
di kota ini. Pada tanggal 1 Juli 1949, Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku
mentri negara / koordinator keamanan, menetapkan ORI masih tetap berlaku
sebagai alat pembayara yang sah disamping uang NICA yang beredar selama masa
pendudukan.
(2)
Periode Republik Indonesia Serikat (1949–1950)
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den
Haag pada bulan Agustus 1949 antara pihak Belanda, RI dan BFO menghasilkan
terbentuknya Republik Indonesia Serikat. Pemerintah RIS mengluarkan uang
kertasnya yang pertama dan sekaligus yang terakhir dengan pecahan 5 dan 10
Rupiah dengan tanggal emisi 1 Januari 1950. Uang ini dicetak di Thomas de la
Rue & Co. Ltd, London, dan demi pertimbangan penyehatan keuangan, pada
sekitar Februari 1950, uang ORI ditarik dari peredaran dan diganti dengan De
Javasche Bank.
Pada masa tersebut ada peristiwa
yang menarik dan mengejutkan yang terkenal dengan sebutan peristiwa
"gunting Sjafruddin", dimana pada tanggal 20 Maret 1950, Pemerintah
RIS (Kabinet Hatta) melalui surat keputusan Mentri keuangan RIS nomer PU / 1
menetapkan untuk "menggunting" uang kertas De Javasche Bank &
Hindia Belanda dari pecahan 5 gulden ke atas menjadi 2 bagian dimana bagian
kiri dinyatakan masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai 50%
dari nilai sebelumnya, serta berlaku sampai dengan 9 Agustus 1950 pukul 18.00.
Bagian kanan dapat ditukar dengan obligasi negara berbunga 3% pertahun dengan
jangka waktu pembayaran 40 tahun. Sedangkan deposito atau simpanan di bank juga
memiliki nasib yang sama dengan bagian kanan uang yang tergunting tersebut.
Yang perlu dicatat uang ORI dan
ORIDA tidak terkena peristiwa gunting Sjafruddin, hanya uang De Javasche Bank
dan Hindia Belanda saja yang terkena dampaknya. Karena yang terkena gunting
Sjafruddin ini adalah uang kertas pecahan 5 gulden keatas, maka yang paling
terkena dampaknya adalah golongan ekonomi menengah ke atas, memang pada saat
itu banyak masyarakat yang kaget dan bingung terutama kalangan pengusaha dan
pedagang, akan tetapi kejutan itu berangsur-angsur lenyap ditelan dinamika
kehidupan dan waktu. Banyak orang yang menukarkan bagian kanan uang kertas yang
digunting di Bank dengan obligasi, akan tetapi banyak juga yang lalai dan tidak
menggunakan kesempatan tersebut. Obligasi Pinjaman Darurat 1950 itu berbentuk
surat berharga dengan memiliki nominal 100; 500 dan 1.000 rupiah dengan 43
kupon bunga tahunan, dan dicetak di percetakan NV G. Kolff & Co dan nilai
seluruh obligasi adalah 1.5 miliar rupiah. Kupon terakhir dengan bunga 3% /
tahun tersebut dapat diuangkan pada tanggal 1 September 1993. Sedangkan 50%
nilai simpanan di bank, oleh bank dimasukkan ke dalam rekening yang diberi nama
"Pendaftaran Pinjaman Negara 3% Tahun 1950" yang hanya dapat
digunakan untuk membeli obligasi pembayaran bunga kupon dilakukan oleh semua
kantor De Javasche Bank di Indonesia dan setiap orang paling banyak hanya boleh
membeli 1,19% dari seluruh nilai obligasi yang diterbitkan.
Gunting Sjafruddin adalah
satu-satunya kebijaksanaan moneter yang menonjol semasa pemerintahan RIS yang
berumur kurang dari setahun itu, karena pada tanggal 17 Agustu 1950 riwayat RIS
berakhir dan Negara Kesatuan Republik Indonesia muncul kembali dengan UUD
Sementara RI tahun 1950.
(3)
Periode Republik Indonesia (1950–sekarang)
Pada dua dasawarsa awal (1950-1970)
ditandai dengan usaha pemerintah RI untuk memiliki percetakan uang kertas dan
uang logam sendiri yang dapat memenuhi persyaratan mata uang modern. Dan
langkah itu dimulai pada tanggl 17 April 1952, pemerintah RI dan Johan Enschede
en Zonen Grafische Inrichting NV dari Haarlem Belanda membentuk Perseroan
Terbatas "Percetakan Kebayoran". Sejak itu Percetakan Kebayoran atau
yang lebih dikenal dengan nama "Perkeba" mulai mencetak uang kertas
RI. Seri "Pahlawan & Kebudayaan" adalah uang kertas pertama RI
yang dicetak oleh Perkeba, yang kemudian dilanjutkan dengan seri-seri yang
lain, meskipun ada beberapa seri yang tetap dicetak di luar negeri seperti
sebagian seri Pahlawan & Kebudayaan yang masih diccetak Johan Enschede en
Zonen NV, kemudian seri "Bunga & Burung" dan sebagian seri
Sukarno yang masih dicetak di Thomas de la Rue, London, dan lain-lain.
Sementara itu pada tanggal 18
September 1954 berdasarkan Surat Keputusan No. 261156 / UMI diputuskan
didirikan "Perusahaan Negara Artha Yasa" yang bertugas mencetak mata
uang logam Indonesia dan baru mulai berproduksi pada tanggal 1 Januari 1957.
Kemudian berdasarkan UU No. 19 Prp / 1960, maka Peraturan Pemerintah No. 34 /
1960 tertanggal 3 Juni 1969 mengubah status perusahaan Perkeba menjadi
"Perusahaan Negara Perkeba", dan PN Artha Yasa dilebur menjadi satu,
berstatus Perum dengan nama Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia
atau disingkat "Peruri". Sedangkan di sisi lain pada tanggal 1 Juli
1953 didirikan Bank Indonesia dan berakhirlah De Javasche Bank di Indonesia.
Pada tahun 1951, Pemerintah Kesatuan
RI mengedarkan emisi pertama uang kertas terdiri dari pecahan 1 dan 2½ rupiah
seri "Pemandangan Alam I" yang ditandatangani oleh mentri keuangan
Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan dicetak oleh Security Banknote Company,
Amerika Serikat. Baru pada tahun 1952 untuk pertama kalinya uang RI dicetak
oleh Perkeba NV yang terdiri dari pecahan 5, 10, 25, 50, 100, 500, dan 1.000
rupiah. Seri ini ditandatangani oleh Gubernur Mr.Sjafruddin Prawiranegara dan
Direktur Mr.Indra Kasoema.
Kemudian pada tahun 1953, Pemerintah
RI mengeluarkan lagi pecahan 1 dan 2½ rupiah seri "Pemandangan Alam
II" yang ditandatangani oleh Mentri Keuangan Dr.Soemitro
Djojohadikoesoemo. Pada tahun 1954, pemerintah mengeluarkan pecahan bernilai 1
dan 2½ rupiah yang ditandatangani oleh mentri Keuangan Dr.Ong Eng Die.
Sementara itu pada tahun 1957
diedarkan seri Hewan dengan pecahan 5, 50, 100, 500 dan 1.000 rupiah, sedangkan
pecahan 10 dan 25 rupiah terlambat diedarkan dan akhirnya ditarik lagi dari
peredaran. Semua nominal ini ditandatangani oleh Gubernur Mr.Sjafruddin
Prawiranegara dan Direktur TRB. Sabaroedin. Hal yang menarik dari seri ini
adalah pecahan 2.500 rupiah baru diedarkan sekitar tahun 1964 dengan
penandatangan Gubernur Mr.Loekman Hakim dan Direktur TRB. Sabaroedi, sedangkan
pecahan 5.000 rupiah sama sekali tidak sempat diedarkan.
Kemudian pada tahun 1958, diedarkan
seri pekerja tangan, yang terdiri dari pecahan 5, 10, 25, 50, 100, 500, 1.000
dan 5.000 rupiah. Disusul pada tahun 1959 dikeluarkan seri "Bunga dan
Burung" yang memiliki pecahan nominal 5, 10, 25, 50, 100, 500 dan 1.000
rupiah. Kedua seri ini ditandatangani oleh Gubernur Mr.Loekman Hakin dan
Direktur TRB. Sabaroedin.
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden
Sukarno mendekritkan pembubaran Majelis Konstituante dan mengakhiri berlakunya
UUD Sementara RI 1950 dan menyatakan berlakunya kembali UUD RI 1945.
Kabinet kerja I yang dipimpin
langsung Presiden RI dengan Mentri Pertama Ir.Djuanda Kartawidjaja dengan
menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 / 1959 tertanggal Bogor, 24
Agustus 1959 menetapkan penurunan nilai uang kertas seri hewan emisi 1957 dari
pecahan bernilai 500 rupiah bergambar harimau dan 1.000 rupiah bergambar gajah
menjadi tinggal 10 persen saja dari nilai semula, dan semua pecahan bernilai
dibawah 500 rupiah masih berlaku dengan nilainya semula, sedangkan deposito di
bank yang berjumlah melebihi 25.000 rupiah dibekukan dan ditukar dengan
obligasi negara yang berbunga 3% / tahun serta jangka waktu pembayaran 40
tahun. Kebijaksanaan ini adalah untuk mengurangi volume uang yang beredar dan
mencegah perdagangan gelap yang merugikan penerimaan negara. Selain itu,
ditetapkan nilai resmi dollar Amerika terhadap rupiah yang semula 1 dollar sama
dengan 11,40 rupiah kini ditetapkan menjadi 45 rupiah per US dollarnya. Pada
masa ini diterbitkan "Pinjaman Konsolidasi 1959" yang berbentuk
obligasi dan dikenal pameo di masyarakat bahwa "harimau dan gajah
dikebiri" atau "bangkai harimau dan gajah bergelimpangan".
Memang pada saat itu banyak orang bergelimpangan karena sangat kaget sebab
uangnya menguap / hilang secara tiba-tiba.
Pada tahun 1960 dan 1964, BI
mencetak uang kertas seri "Sukarno" yang terdiri dari pecahan
bernilai 5 sampai 1.000 rupiah dengan penandatanganan Gubernur Mr.Rd. Soetikno
Slamet dan Direktur Mr.Indra Kasoema. Selain itu pemerintah juga mencetak
pecahan yang bernilai 1 dan 2½ rupiah emisi 1964 yang ditandatangani oleh
mentri keuangan Soemarmo, SH. Akan tetapi yang perlu diingat uang seri Sukarno
ini bukan diedarkan antara tahun 1960-1964 melainkan diedarkan sekitar awal
tahun 1966 untuk mengganti uang lama yang terkena kebijakan moneter pada
tanggal 13 Desember 1965. Pada tahun 1960 dan 1961, pemerintah RI sempat
mengedarkan mata uang kertas pecahan 1 dan 2½ rupiah, dimana yang beremisi 1960
ditandatangani oleh Mentri Keuangan Ir. Djuanda Kartawidjaja, sedangkan yang
bertahun 1961 oleh Mentri Keuangan R.M. Notohamiprojo.
Pada tahun 1963 dan 1964, BI
mengeluarkan uang kertas seri pekerja Tangan yang merupakan edisi cetak ulang
Seri Pekerja Tangan 1958 untuk nominal 10, 25, 50 dan 100 rupiah. Sedangkan
pecahan 10.000 rupiah merupakan desain baru dengan 3 macam variasi. Semua
pecahan 10.000 rupiah merupakan desain baru dengan 3 macam variasi. Semua
pecahan ini ditandatangani oleh Gubernur Jusuf Muda Dalam dan Direktur
Hertatijanto. Pada tahun 1963 dan 1964, BI juga mencetak uang seri
"Dwikora" yang terdiri dari pecahan bernilai 1, 5, 10, 25, dan 50
sen. Uang ini diedarkan untuk menggantikan uang lama pada akhir tahun 1965 dan
awal 1966 (13 Desember 1965).
Pada tanggal 1 Mei 1963, wilayah
Irian Barat kembali dipersatukan dengan Republik Indonesia. Pemerintah RI
segera mengedarkan uang kertas, rupiah seri Sukarno dengan beda warna dan ada
tambahan tulisan "IRIAN BARAT". Untuk pecahan 1 dan 2½ rupiah
memiliki emisi tahun 1961, sedangkan pecahan 5, 10 dan 100 beremisi tahun 1960.
Tujuan dari diedarkan uang ini agar dapat menggantikan posisi uang yang beredar
pada saat itu yaitu uang Gulden Nederlands Nieuw Guinea. Yang menarik dari uang
ini adalah nilai tukarnya yang jauh lebih tinggi daripada nilai rupiah RI,
yaitu untuk setiap 1 rupiah Irian Barat bernilai sama dengan 10 rupiah RI.
Sedangkan di sisi lain jauh sebelum konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun
1964-1966, di wilayah Kepulauaan Riau telah beredar mata uang dollar Malaya
yang juga berlaku di Singapura dan British Borneo, sehingga untuk mengatasi
peredaran uang tersebut, pada tanggal 15 Oktober 1963, Pemerintah RI
mengeluarkan mata uang kertas khusus Riau yang terdiri dari pecahan 1 dan 2½
rupiah yang bergambar presiden Sukarno dan ditambahi tulisan "RIAU"
dan beremisi 1961. Juga diterbitkan lagi yang beremisi tahun 1960 degan pecahan
5, 10, dan 100 rupiah. Namun nasib mata uang khusus Riau hanya seumur jagung,
dimana pada tanggal 1 Juli 1964 mata uang yang berlaku disana adalah mata uang
rupiah sebagaimana yang berlaku di wilayah-wilayah RI lainya.
Pada tanggal 13 Desember 1965
melalui Penetapan Presiden RI No. 27 / 1965, pemerintah / kabinet Dwikora I
menarik peredaran semua mata uang pada waktu itu dan menggantinya dengan mata
uang baru dan ditetapkan bahwa nilai tukarnya 1.000 : 1. Ini artinya
setiap 1.000 rupiah lama dapat ditukar menjadi 1 rupiah Baru. Pada saat itu
nilai kurs dollar terhadap rupiah mencapai rekor tertinggi sepanjang masa,
dimana menurut catatan BI, nilai tukar 1 Dollar Amerika di pasar gelap mencapai
36.000 rupiah lama. Kebijaksanaan lama dan datangnya babak baru sejarah moneter
Indonesia, karena segera disusul kebijakan Pemerintah Orde Baru dibawah
kepemimpinan Presiden Suharto yang menerapkan sistem anggaran berimbang dan
lalu lintas devisa bebas.
Pada jaman Presiden Suharto uang
pertama yang dikeluarkan adalah uang kertas seri "Sudirman" dengan
pecahan 1, 2½, 5, 10, 25, 50, 100, 500, 1.000, 5.000, dan 10.000 rupiah, yang
ditandatangi oleh Gubernur BI Drs. Radius Prawiro dan Direktur Soeksmono B
Martokoesoemo, beremisi tahun 1968 dan mulai diedarkan pada tanggal 8 Januari
1968. Pada tanggal 23 Agustu 1971, Pemerintah / kabinet Pembangunan I
mendevaluasi rupiah sebesar 10%, hingga nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika yang semula 1 dollar sama dengan 378, kini menjadi 415 rupiah. Setelah
itu pada tahun 1975, BI mengeluarkan uang kertas pecahan 1.000 rupiah bergambar
Pangeran Diponegoro, 5.000 rupiah bergambar Nelayan, dan pecahan 10.000 rupiah
bergambar relief Candi Borobudur. Masing-masing ditandatangai oleh Gubernur BI
Drs. Rachmat Saleh dan Direktur BI Soeksmono B Martokoesoemo.
Pada tanggal 17 Juli 1976, wilayah
Timor Timur, bekas jajahan Potugis menyatakan diri berintegrasi kedalam wilayah
RI dan ditetapkan menjadi propinsi ke-27 negara Republik Indonesia. Sejak saat
itu mata uang Portugis "Escudos Timor" dinyatakan tidak berlaku lagi
dan digantikan dengan mata uang rupiah RI tahun 1977, BI mengeluarkan uang
kertas pecahan 100 rupiah bergambar badak Jawa dan pecahan 500 rupiah bergambar
wanita dan bunga anggrek, yang masing-masing ditandatangani oleh Gubernur BI
Drs. Rachmat Saleh dan Direktur BI. Arifin M Siregar.
Pada tanggal 15 November 1978,
kebijaksanaan pemerintah / Kabinet Pembangunan III yang dikenal dengan
"KENOP 15" menetapkan nilai tukar rupiah tidak lagi terkait dengan
Dollar Amerika dalam bentuk nilai tukar tetap, tetapi dibiarkan mengambang
secara terkendali. Waktu itu pemerintah menetapkan nilai tukar dollar Amerika
terhadap rupiah dari semula 1 dollar sama dengan 415 rupiah menjadi 625 rupiah
atau mengalami devaluasi 50%. Pada tahun 1979 diedarkan lagi uang kertas
pecahan 10.000 rupiah bergambar orang menabuh gambang (gamelan-alat musik Jawa).
Pada tanggal 30 maret 1983,
Pemerintah / Kabinet Pembangunan IV mendevaluasi rupiah sebesar 38%, sehingga
nilai dollar Amerika dari semula 1 dollar sama dengan 702,5 rupiah menjadi 970
rupiah. Akhirnya pada tanggal 12 September 1986, Pemerintah / Kabinet
Pembangunan IV mendevaluasi kembali mata uang rupiah sebesar 45%, dimana pada
awalnya 1 dollar Amerika sama dengan 1.134 rupiah berubah menjadi 1.644 rupiah.
Barang-barang yang dianggap indah dan bernilai, seperti
kerang ini, pernah dijadikan sebagai alat tukar sebelum manusia menemukan
uang logam.
Meskipun alat tukar sudah ada, kesulitan dalam pertukaran tetap ada.
Kesulitan-kesulitan itu antara lain karena benda-benda yang dijadikan alat
tukar belum mempunyai pecahan sehingga penentuan nilai uang, penyimpanan (storage),
dan pengangkutan (transportation) menjadi sulit dilakukan serta timbul
pula kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda tersebut sehingga mudah
hancur atau tidak tahan lama. Kemudian muncul apa yang dinamakan dengan uang logam. Logam dipilih
sebagai alat tukar karena memiliki nilai yang tinggi sehingga digemari umum,
tahan lama dan tidak mudah rusak, mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan
mudah dipindah-pindahkan. Logam yang dijadikan alat tukar karena memenuhi
syarat-syarat tersebut adalah emas dan perak. Uang logam emas dan perak juga disebut sebagai uang
penuh (full bodied money). Artinya, nilai intrinsik (nilai bahan) uang
sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut).
Pada saat itu, setiap orang berhak menempa uang, melebur, menjual atau
memakainya, dan mempunyai hak tidak terbatas dalam menyimpan uang logam.
Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul suatu anggapan kesulitan
ketika perkembangan tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang logam
bertambah sementara jumlah logam mulia (emas dan perak) sangat terbatas.
Penggunaan uang logam juga sulit dilakukan untuk transaksi dalam jumlah besar
sehingga diciptakanlah uang kertas Mula-mula uang kertas yang beredar
merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai alat/perantara untuk
melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu
merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai
emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya.
Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara
langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan
'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar.Fungsi
Secara umum, uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk pertukaran barang dengan barang, juga untuk menghindarkan perdagangan dengan cara barter. Secara lebih rinci, fungsi uang dibedakan menjadi dua yaitu fungsi asli dan fungsi turunan.Fungsi asli
Fungsi asli uang ada tiga, yaitu sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai.- Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat mempermudah pertukaran. Orang yang akan melakukan pertukaran tidak perlu menukarkan dengan barang, tetapi cukup menggunakan uang sebagai alat tukar. Kesulitan-kesulitan pertukaran dengan cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.
- Uang juga berfungsi sebagai satuan hitung (unit of account) karena uang dapat digunakan untuk menunjukan nilai berbagai macam barang/jasa yang diperjualbelikan, menunjukkan besarnya kekayaan, dan menghitung besar kecilnya pinjaman. Uang juga dipakai untuk menentukan harga barang/jasa (alat penunjuk harga). Sebagai alat satuan hitung, uang berperan untuk memperlancar pertukaran.
- Selain itu, uang berfungsi sebagai alat penyimpan nilai (valuta) karena dapat digunakan untuk mengalihkan daya beli dari masa sekarang ke masa mendatang. Ketika seorang penjual saat ini menerima sejumlah uang sebagai pembayaran atas barang dan jasa yang dijualnya, maka ia dapat menyimpan uang tersebut untuk digunakan membeli barang dan jasa di masa mendatang.
Fungsi Turunan
Selain ketiga hal di atas, uang juga memiliki fungsi lain yang disebut sebagai fungsi turunan. Fungsi turunan itu antara lain:- Uang sebagai alat pembayaran yang sah
- Uang sebagai alat pembayaran utang
- Uang sebagai alat penimbun kekayaan
- Uang sebagai alat pemindah kekayaan
- Uang sebagai alat pendorong kegiatan ekonomi
Syarat-syarat
Suatu benda dapat dijadikan sebagai "uang" jika benda tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Pertama, benda itu harus diterima secara umum (acceptability). Agar dapat diakui sebagai alat tukar umum suatu benda harus memiliki nilai tinggi atau —setidaknya— dijamin keberadaannya oleh pemerintah yang berkuasa. Bahan yang dijadikan uang juga harus tahan lama (durability), kualitasnya cenderung sama (uniformity), jumlahnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat serta tidak mudah dipalsukan (scarcity). Uang juga harus mudah dibawa, portable, dan mudah dibagi tanpa mengurangi nilai (divisibility), serta memiliki nilai yang cenderung stabil dari waktu ke waktu (stability of value).Jenis
Artikel utama untuk bagian
ini adalah: Jenis-jenis uang
Uang rupiah
Uang yang beredar dalam masyarakat dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu uang
kartal (sering pula disebut sebagai common money) dan uang giral. Uang
kartal adalah alat bayar yang sah dan wajib digunakan oleh masyarakat
dalam melakukan transaksi jual-beli sehari-hari.
Sedangkan yang dimaksud dengan uang giral adalah uang yang dimiliki masyarakat
dalam bentuk simpanan (deposito) yang dapat ditarik sesuai kebutuhan. Uang ini
hanya beredar di kalangan tertentu saja, sehingga masyarakat mempunyai hak
untuk menolak jika ia tidak mau barang atau jasa yang diberikannya dibayar
dengan uang ini. Untuk menarik uang giral, orang menggunakan cek.Menurut bahan pembuatannya
Dinar dan Dirham, dua contoh mata uang logam.
Uang menurut bahan pembuatannya terbagi menjadi dua, yaitu uang logam
dan uang kertas.- Uang logam
- Nilai intrinsik, yaitu nilai bahan untuk membuat mata uang, misalnya berapa nilai emas dan perak yang digunakan untuk mata uang.
- Nilai nominal, yaitu nilai yang tercantum pada mata uang atau cap harga yang tertera pada mata uang. Misalnya seratus rupiah (Rp. 100,00), atau lima ratus rupiah (Rp. 500,00).
- Nilai tukar, nilai tukar adalah kemampuan uang untuk dapat ditukarkan dengan suatu barang (daya beli uang). Misalnya uang Rp. 500,00 hanya dapat ditukarkan dengan sebuah permen, sedangkan Rp. 10.000,00 dapat ditukarkan dengan semangkuk bakso).
- Uang kertas
Menurut nilainya
Menurut nilainya, uang dibedakan menjadi uang penuh (full bodied money) dan uang tanda (token money)- Uang Penuh (full bodied money)
- Uang Tanda (token money)
Teori nilai uang
Teori nilai uang membahas masalah-masalah keuangan yang berkaitan dengan nilai uang. Nilai uang menjadi perhatian para ekonom, karena tinggi atau rendahnya nilai uang sangat berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi. Hal ini terbukti dengan banyaknya teori uang yang disampaikan oleh beberapa ahli. Teori uang terdiri atas dua teori, yaitu teori uang statis dan teori uang dinamis.Teori uang statis
Teori Uang Statis atau disebut juga "teori kualitatif statis" bertujuan untuk menjawab pertanyaan: apakah sebenarnya uang? Dan mengapa uang itu ada harganya? Mengapa uang itu sampai beredar? Teori ini disebut statis karena tidak mempersoalkan perubahan nilai yang diakibatkan oleh perkembangan ekonomi. Yang termasuk teori uang statis adalah:- Teori Metalisme (Intrinsik) oleh KMAPP
Teori ini menyatakan bahwa uang dibentuk atas dasar pemufakatan masyarakat untuk mempermudah pertukaran.
- Teori Nominalisme
- Teori Negara
Teori uang dinamis
Teori ini mempersoalkan sebab terjadinya perubahan dalam nilai uang. Teori dinamis antara lain:- Teori Kuantitas dari David Ricardo
- Teori Kuantitas dari Irving Fisher
- Teori Persediaan Kas
- Teori Ongkos Produksi
Uang dalam ekonomi
Uang adalah salah satu topik utama dalam pembelajaran ekonomi dan finansial. Monetarisme adalah sebuah teori ekonomi yang kebanyakan membahas tentang permintaan dan penawaran uang. Sebelum tahun 80-an, masalah stabilitas permintaan uang menjadi bahasan utama karya-karya Milton Friedman, Anna Schwartz, David Laidler, dan lainnya.Kebijakan moneter bertujuan untuk mengatur persediaan uang, inflasi, dan bunga yang kemudian akan memengaruhi output dan ketenagakerjaan. Inflasi adalah turunnya nilai sebuah mata uang dalam jangka waktu tertentu dan dapat menyebabkan bertambahnya persediaan uang secara berlebihan. Interest rate, biaya yang timbul ketika meminjam uang, adalah salah satu alat penting untuk mengontrol inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Bank sentral seringkali diberi tanggung jawab untuk mengawasi dan mengontrol persediaan uang, interest rate, dan perbankan.
Krisis moneter dapat menyebabkan efek yang besar terhadap perekonomian, terutama jika krisis tersebut menyebabkan kegagalan moneter dan turunnya nilai mata uang secara berlebihan yang menyebabkan orang lebih memilih barter sebagai cara bertransaksi. Ini pernah terjadi di Rusia, sebagai contoh, pada masa keruntuhan Uni Soviet.
Sejarah
Perkembangan Mata Uang Indonesia
Seperti yang sering dialami oleh sejarahwan, mereka selalu mengalami
kesulitan dalam menyusun sejarah Indonesia, terutama penulisan sejarah dalam
periode abad 16 ke bawah. Minimnya data serta tidak terbiasanya dilakukan
pencatatan secara tertulis pada jaman dulu, benar-benar sangat memerlukan
penelitian-penelitian yang lebih mendalam. Walaupun ada informasi, namun hanya
berwujud secuil info saja, yang harus dikorek dan digali lebih lanjut untuk
mendapatkan gambaran yang lebih besar dan lebih jelas. Koin kepeng Cina telah digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia selama kurun waktu 900 tahun atau 9 abad! Bahkan di Bali, koin-koin Cina tersebut masih dipakai sebagai alat pembayaran sampai dengan jaman Republik tahun 1950! Dalam melakukan penulisan ini, saya yakin, bahwa tulisan ini pasti masih ada bagian yang bolong-bolong, namun kekurangan itu diharapkan tidak sampai mempengaruhi keutuhan dari rangkaian sejarah itu sendiri. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bukan saja bagi kita kalangan Numismatik, tetapi dapat berguna juga bagi negara dan bangsa Indonesia!
Berdasarkan jamannya, perkembangan mata uang Indonesia dapat
dibagi dalam beberapa periode
- Jaman Kerajaan Hindu Buddha (800/850 – 1.300 Masehi)
- Jaman Perdagangan
- Perdagangan dengan Cina (850–1900)
- Perdagangan dengan VOC (1602-1799)
- Jaman Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1945)
- Pendudukan Perancis (1806–1811)
- Pendudukan Inggris (1811–1816)
- Jaman Pendudukan Jepang (1942–1945)
- Jaman Pemerintahan Republik Indonesia (1945-sekarang)
- Sukarno (1945–1967)
- Suharto (1967–1998)
- B.J Habibie (1998–1999)
- Abdurrachman Wahid (1999–2001)
- Megawati Sukarnoputri (2001-2004)
- Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang)
- Mata uang lainnya
- Kerajaan-Kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)
- Kerajaan Samudra Pasai dan Aceh
- Kerajaan Palembang
- Kerajaan-Kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Maluka)
- Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi (Gowa, Buton)
- British East India Company di Sumatra
- Token-token perkebunan dan pertambangan
Contents |
Jaman Kerajaan Hindu Buddha (800/850–1.300 Masehi)
Berdasarkan inskripsi-inskripsi jaman dulu, koin Indonesia yang dicetak pertama kali adalah sekitar tahun 800-850 Masehi, yaitu pada jaman kerajaan Mataram Syalendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan, yaitu dari perak dan emas. Dan berdasarkan Prasasti Bulai sekitar tahun 860 Masehi, standar untuk berat dan nilainya adalah:- Masa (biasa disingkat Ma), mempunyai berat standar 2,4 gram
- Atak, adalah setengan dari Masa, atau mempunyai nilai dua Kupang (dua Ku). Berat standar satuan Atak adalah 1,2 gram.
- Kupang (disingkat Ku), mempunyai berat standar 0,60 gram, dan biasanya disebut seperempat Masa.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Syailendra pada waktu itu semakin meluaskan wilayahnya, bahkan sampai ke daerah–daerah Jawa Timur. Adapun pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur, seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya, banyak berdatangan para pedagang dari mancanegara. Jawa Timur sebagai daerah maritim, akhirnya semakin maju dibandingkan dengan kerajaan induknya di Jawa Tengah yang merupakan daerah agraris. Pada waktu itu (Jaman Dinasti Tang, tahun 618-907 Masehi), orang-orang Cina sudah mulai banyak berdatangan ke tanah Jawa untuk melakukan perdagangan. Mereka membawa mata uang sendiri yang disebut "Cash" atau "Caixa", Cassie, Pitje, atau orang Jawa menyebutnya Kepeng, dengan ciri khas terdapat lubang persegi di tengahnya. Koin-koin Cina ini lambat laun dapat diterima sebagai alat pembayaran yang sah.
Pada kira-kira tahun 928 Masehi, gunung Merapi meletus dahyat, yang mengakibatkan rusaknya hampir seluruh sendi-sendi perekonomian kerajaan. Karena alasan di atas, serta makin majunya daerah Jawa Timur, maka pada tahun 929 diputuskan untuk memindahkan ibukota kerajaan, dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Walaupun koin-koin tetap dicetak dengan berat seperti standar awal, tetapi lama kelamaan mengalami proses perubahan bentuk dan disainnya. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk kecubung, dengan diameter antara 13-14 mm.
Pada Jaman Dinasti Sung di Cina (960-1279) merupakan puncak-puncaknya dimana banyak sekali orang Cina yang datang ke Jawa untuk berdagang. Bersamaan dengan kedatangannya, dibawa juga koin-koin kepeng Cina untuk dipakai sebagai alat pembayaran. Saking banyaknya jumlah peredaran uang kepeng tersebut, yang akhirnya menyisihkan mata uang lokal yang terbuat dari perak dan emas Masa dan Tahil. Hal-hal yang mungkin dapat dijadikan alasan, karena uang kepeng mempunyai lubang ditengahnya, sehingga praktis untuk dibawa kemana-mana dan tidak mudah hilang. Biasanya uang itu direnteng dalam ikatan 1.000 buah per ikatnya. Alasan lainya bahwa koin perak dan emas lokal merupakan mata uang dalam pecahan besar. Masyarakat sangat membutuhkan uang-uang dalam nilai pecahan kecil, yang sangat diperlukan untuk perdagangan. Sebagai contoh, satu ekor kambing pada akhir abad ke IX, dapat dibeli dengan 4 perak Masa!
Jaman Perdagangan
Sebenarnya bukan hanya orang-orang Cina dan VOC (Belanda) saja yang berdagang di Jawa, tapi kedua bangsa itulah yang paling dominan dalam melakukan perdagangan di Jawa. Dan dari mata uang Cash Cina dan mata uang "Kompeni" inilah yang telah memberikan pengaruh yang sangat besar bagi sejarah dan perkembangan numismatik Indonesia.
Perdagangan Dengan Cina
Puncaknya adalah pada masa pemerintahan Dinasti Sung di Cina (960-1279), dimana berjuta-juta keping koin Cina membanjiri Jawa, yang mengakibatkan koin lokal emas dan perak Masa akhirnya tidak digunakan lagi sebagai alat pembayaran, diganti fungsinya dengan koin-koin Cina itu.
Setelah terjadi penyerbuan oleh Dinasti Yuan / Mongol (1279–1368 Masehi) ke tanah Jawa pada tahun 1291 Masehi, yang akhirnya memunculkan kerajaan besar "Majapahit", maka terjadi stagnasi dalam hubungan perdagangan kedua negara tersebut. Tetapi stagnasi ini juga tidak berlangsung lama. Hubungan diplomatik mulai diperbaiki, dan akhirnya perdagangan mulai berjalan seperti semula.
Pada waktu bertahtanya kaisar Yong Le (1403-1425 Masehi) dari Dinasti Ming, raja memerintahkan Laksamana Cheng Ho untuk melakukan perjalanan muhibah ke banyak negara, yang salah satunya adalah tanah Jawa. Pada tahun 1405 Masehi, Cheng Ho untuk pertama kalinya mendarat di kota Tuban, Jawa Timur. Setelah itu mereka pergi ke Gresik, lalu ke Surabaya, dan akhirnya ke Majapahit, dimana raja bertempat tinggal.
Dalam misinya, Cheng Ho ditemani oleh seorang juru tulis dan juga sebagai penerjemah yang sama-sama pemeluk agama Islam, yang bernama Ma Huan. Berikut ini beberapa petikan dari buku "Ying Yai Sheng Lan" yang ditulis oleh Ma Huan (terbit tahun 1416), mengenai apa yang dilihatnya pada waktu itu:
"Koin-koin Cina dari berbagai dinasti, umum digunakan disini"......."Dalam melakukan transaksi, pembayarannya memakai koin-koin cash tembaga Cina dari berbagai dinasti"......."Orang-orang disini (Jawa Timur) sangat senang dengan porselin-porselin Cina dengan motif Hijau bunga, kain sutra, manik-manik,dll. Mereka membelinya dengan uang-uang cash"......
Pada tahun 1478, Majapahit diserang oleh kerajaan Islam Demak, yang berakhir dengan kemenangan Demak. Untuk selanjutnya Majapahit berstatus sebagai negara bawahan dari kerajaan Demak, hingga akhirnya pada kira-kira tahun 1528 kerajaan Majapahit dibumihanguskan oleh Demak. Dengan matinya Majapahit di bagian Timur, telah muncul kota dagang lainnya yang semakin hari semakin ramai di bagian barat, yaitu Bantam (Banten). Pada akhir dinasti Ming (1368-1644 Masehi), orang-orang Belanda melalui perusahaan VOC tahun 1602 mulai masuk ke Indonesia. Pada awalnya VOC membawa koin-koin perak Real (Real Baru dan Real Bundar) untuk transaksi perdagangan, yang ternyata mata uang yang dipakai sebagai alat perdagangan adalah uang Cina.
Pada jaman Ming pula pernah terjadi keguncangan moneter di Cina akibat dari kelangkaan uang yang beredar disana. Hal ini disebabkan karena banyaknya mata uang cash yang diekspor ke Jawa. Akhirnya pemerintah Ming melakukan larangan untuk mengeksport uang Chi’ien tersebut ke luar negeri, termasuk Jawa. Walaupun nantinya kran dibuka kembali, namun larangan tersebut telah mengakibatkan kekosongan mata uang dalam pecahan kecil. VOC akhirnya melakukan import uang-uang tembaga bolong dari negara-negara lain, seperti Jepang, Korea, dan Vietnam. Disamping itu mulai dibuat uang-uang Picis (Tiruan dari koin-koin Cina), yang terbuat dari timah (tin) atau dari timbal (lead). Koin-koin dari Jepang, Korea dan Vietnam diatas, serta uang-uang Picis tiruannya, sampai sekarangpun masih dapat ditemui di tanah Jawa.
Pada tahun 1723 Jepang yang kali ini menghentikan export uang Cash. Karena Jung-jung Cina yang biasa mempunyai suply belum datang, maka pada waktu itu terjadi kekosongan uang pecahan kecil. Oleh karena itu, VOC meminta kepada negeri Belanda untuk dibuatkan koin-koin bernilai kecil, yang pertama kalinya dicetak pada tahun 1726. Naum koin-koin cash tetap beredar bersamaan dengan doit tembaga versi Belanda. Pada waktu berkuasanya dinasti Qing di Cina tahun 1644–1911, import koin cash tetap dilakukan oleh Belanda guna dipakai di Jawa dan Bali. Terutama di Bali, Belanda telah berkali-kali mencoba mencetak doit dengan tengahnya yang berlubang untuk menggantikan koin cash Cina yang biasa dipakai di Bali.
Perdagangan Dengan VOC (1602–1799)
Tahun 1595 untuk pertama kalinya kapal-kapal Belanda menginjak daratan Indonesia. Ekspedisi ini dikepalai oleh dua bersaudara, Coernelis dan Frederick de Houtman, dengan armadanya yang terdiri dari 4 kapal dengan 249 awak kapal dan 64 meriam. Mereka mendarat di pelabuhan Banten untuk membeli rempah-rempah yang pada waktu itu sangat menguntungkan di pasaran Eropa.Pada bulan Maret 1599, Jacob van Neck untuk pertama kalinya berhasil mencapai "pulau rempah-rempah" Maluku. Dari ekpedisi tersebut, mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar. Setelah itu dua perusahaan Belanda, Yaitu United Amsterdam Company (1594–1602), dan United Zeeland Company (1597–1602), juga ikut meramaikan ekspedisi ke Indonesia. Mereka juga mencetak mata uangnya sendiri guna dipakai sebagai alat pembayaran. Pada tahun 1601 Amsterdam Company mencetak koin-koin perak dengan pecahan ¼, ½, 1, 2, 4 dan 8 Reals. Sedangkan Zeeland Company mencetak koin peraknya dengan pecahan 8 Reales pada tahun 1602. Koin-koin dari kedua perusahaan Belanda tersebut sangat langka sekali, dan mempunyai nilai jual yang sangat mahal.
Selama lebih dari seabad sejak tahun 1602 VOC melakukan monopoli perdagangan di kepulauan Indonesia, mereka tidak pernah mencetak koinnya sendiri untuk diedarkan di Hindia Belanda. Walaupun pernah dicetak koin-koin dengan lambang VOC pada tahun 1644 dan 1645, namun koin-koin tersebut adalah koin darurat (Emergency coin) guna menanggulangi langkanya koin-koin dalam pecahan kecil, dan bukan produk resmi dari VOC. Yang pertama adalah berbahan tembaga, dicetak kira-kira pada bulan Agustus tahun 1644, dengan pecahan ¼ dan ½ Stuiver. Koin-koin ini dicetak oleh seorang Cina yang tinggal di Batavia, yang bernama Conjok. Namun pada tanggal 21 September 1644, koin-koin tersebut ditarik karena The Seventeen melarang koin-koin tersebut digunakan dalam peredaran.
Koin VOC yang pertama kali dicetak secara resmi adalah koin tembaga 1726 dengan pecahan 1 Doit (Duit). Koin-koin tersebut pada awalnya dicetak di Dordrecht, Holland, dimana pada satu sisi terdapat lambang VOC dan pada sisi lainya terdapat lambang provinsi Holland. Setelah itu dicetak koin-koin dari provinsi lainnya seperti Gelderland, Utrecht, West Friesland, dan Zeeland. Koin-koin ini dinyatakan tidak berlaku di negeri induknya Belanda,
Karena hanya diedarkan hanya untuk daerah dimana VOC berada. Peredaran doit tembaga ini cukup luas karena diedarkan juga di daerah Coromandel, Cochin, Malaka dan Ceylon. Adapun nilai penukaran untuk 1 Stuiver = 4 Doit.
Karena kebutuhan uang dengan nilai nominal yang lebih kecil, maka untuk pertama kalinya tahun 1749 Holland mencetak mata uang tembaga dengan pecahan setengan Doit. Selain dari tembaga, koin-koin Doit dan setengah doit juga dicetak dengan bahan perak. Walaupun demikian koin-koin bolong Cash Cina tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, bersamaan dengan Doit Kompeni tersebut.
VOC juga mencetak koin-koin perak dengan sebutan "Ducaton" atau "Silver Ryder". Dinamakan Silver Ryder karena koin yang terbuat dari perak itu pada sisi mukanya terdapat gambar seorang menaiki kuda. Nilai tukar untuk satu Dukat sama dengan 60 Stuiver atau bernilai 240 Doits.
Disamping koin dukat penunggang kuda, dicetak juga koin perak dengan pecahan ½, 1, dan 3 Gulden, dengan gambar Dewi Pallas yang sedang berdiri sambil memegang tongkat. Orang lokal menyebut koin ini sebagai "Koin Tongkat", dimana untuk setiap guldennya mempunyai nilai 20 Stuivers atau sama dengan 80 Doit.
Tahun 1743, setelah era Sultan Agung berakhir, VOC melakukan perjanjian dengan kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada VOC untuk mencetak mata uangnya sendiri. Berdasarkan hak tersebut, VOC membuat uang dengan desain tulisan dalam huruf arab pada kedua sisinya. Uang ini dikenal dengan nama "Derham Djawi" atau "Java Ducat" atau "Gold Rupee" (untuk koin emas), dan "Silver Java Rupee" (untuk koin Peraknya).
Percetakan uang di Batavia yang diberi kesempatan untuk mencetak koin ini pada tahun 1744, koin yang pertama kali dicetak oleh VOC di Batavia. Desain koin dibuat oleh Mintmaster Theodorus Justinus Rheen, yang pada tahun 1745 digantikan oleh Paulus Dorsman sebagai Mintmaster di Batavia. Pada bagian muka terdapat tulisaan dalam bahasa Arab: "Lla djazirat Djawa al-kabir", sedang di bagian belakangnya: "Derham min Kompani Welandawi". Yang artinya: "Uang milik perusahaan Belanda untuk Pulau Jawa Besar". Koin derham emas ini mempunyai nilai sebesar 16 Silver Rupee atau 16 Gulden. Dalam peluncuranya, koin emas Djawi ini sangat disukai oleh masyarakat, sehingga pada tahun 1747-1750 mulai dibuat koin perak Jawa Rupee. Rupanya pemalsuan uang bukan hanya dilakukan oleh orang-orang jaman sekarang saja. Begitu Derham Djawi diluncurkan, beberapa tahun kemudian telah muncul koin-koin palsu beredar dipasaran. Akibatnya pada tahun 1751 koin-koin ini ditarik dari peredaran, dan pencetakan uang di Batavia untuk sementara tidak berproduksi.
Pada tahun 1765, diberitakan peraturan bahwa orang-orang pribadi yang mempunyai emas dapat meminta emas yang dimilikinya itu dikonversi menjadi koin. Dengan peraturan itu, maka pada tahun 1765 mulai dibuat koin-koin emas Java Rupee, dengan pecahan 1, 2 dan 4 emas Rupee. Koin-koin inipun pada tahun 1768 harus ditarik kembali karena mulai banyak koin-koin palsu yang beredar di pasaran.
Koin-koin dengan nilai pecahan kecil selalu menjadi kendala dalam peredaran uang. Untuk memecahkan persoalan itu maka pada tahun 1764 dicetak koin-koin pitis dari tembaga merah yang bernilai setengah Doit. Pada bagian muka tercetak: "Duyt Javas", sedangkan di baliknya dalam bahasa Arab Melayu: "Doewit Djawa".
VOC mulai menunjukan ketidakberesan manajemen dan keuangannya sejak tahun1795. Akhirnya pada tahun 1799 VOC dinyatakan bangkrut. Semua harta dan kekuasannya diambil alih oleh pemerintah Belanda, yang saat itu bernama Republik Batavia. Demikianlah masa-masa VOC di Indonesia, yang berakhir dengan sangat mengenaskan. Walaupun pada mulanya kehadiran VOC adalah untuk berdagang, namun VOC merupakan cikal bakal dari kolonialisasi Belanda, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain dimana VOC membuka markas besarya. Karena dengan wewenang yang diberikan kepadanya, VOC bahkan dapat membasmi seluruh penduduk yang tidak mau memberikan hak monopoli kepadanya, seperti yang dialami pada penduduk Banda pada tahun 1645!
Pada tahun 1796 dan 1797 dicetak juga doit-doit darurat yang terbuat dari timah, dan beredar bersamaan dengan Bonk. Pada bagian sebelah muka terdapat lambang VOC dan huruf "N" diatasnya (singkatan dari Nederlansche). Di bagian belakangnya tertulis: 1 Duyt 1796 / 7 karena doit-doit palsu dari timbal (lead) banyak beredar, maka doit timah itu ditarik dari peredarannya untuk dilebur kembali, yang mengakibatkan doit-doit timah itu menjadi sangat langka sekali. Koin-koin darurat dalam pecahan Stuiver juga dicetak pada tahun 1799 dan 1800. Koin-koin ini terbuat dari campuran dua bahan, yaitu perunggu hasil leburan dari leburan meriam-meriam yang telah rusak, dan timbal (lead). Pada sisi muka dicetak: JAVA 1799 / 1800, dan di baliknya dicetak : 1 Stuiver.
Jaman Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1845)
Setelah runtuhnya VOC mulai tahun 1795, maka kontrak VOC yang berakhir pada tahun 1799 tidak diperpanjang lagi. Pada waktu itu Belanda termasuk negara protektorat Perancis, yang akhirnya merubah sistem pemerintahan di Belanda menjadi Republik Batavia (The Batavian Republik), dari tahun 1799-1806. Setelah pemerintahan Belanda mengambil alih seluruh harta dari kekuasaan VOC, maka mulailah jaman Pendudukan Belanda di Indonesia dalam arti yang sebenarnya. Belanda mulai menginvasi daerah-daerah yang dulunya tidak terjangkau oleh VOC. Di Jawa (bagian Tengah dan Timur) timbul perang yag berlangsung selama 5 tahun, dari bulan Mei 1825 dampai dengan Maret 1830. Perang besar ini dikenal dengan nama "Perang Diponegoro", yang mengakibatkan kira-kira 8000 orang Eropa (termasuk pasukan Belanda) dan lebih dari 7000 pasukan Jawa menjadi korbannya. Pada waktu itu, jumlah penduduk Yogyakarta telah berkurang hampir setengahnya!Dalam numismatik Indonesia, koin-koin Belanda sangatlah umum dikoleksi oleh para kolektor. Mereka sangat akrab dengan koin-koin tersebut, karena koin-koin itu pernah lama sekali beredar di Indonesia. Sehingga tidaklah lengkap bagi para kolektor koin di Indonesia jika tidak mengoleksi koin-koin Belanda
Koin-koin asli yang dicetak langsung dari negeri Belanda juga berlaku sah di negeri-negeri jajahan tersebut, seperti koin-koin dengan gambar wajah raja-raja Willem 1, 2, 3, serta ratu Wilhelmina. Uraian mengenai koin-koin asli Belanda tersebut akan dijelaskan dalam artikel tersendiri.
Pada masa pemerintahan Raja Willem 1 (1815-1840), untuk negeri Hindia Belanda dicetak koin-koin perak dengan gambar Willem I, dengan nominal ¼, ½, dan 1 Gulden. Selain itu dicetak juga Doit-doit tembaga dengan nilai pecahan kecil. Pada masa pemerintahan Raja Willem II (1840-1849) ada dua hal penting yang patut dijelaskan disini. Yang pertama adalah dicetak ulangnya koin-koin tembaga VOC dengan lambang propinsi Utrecht, yang semuanya bertahun 1790. Koin-koin ini dicetak di rumah produksi uang Batavia dan Surabaya dari bulan April tahun 1840 sampai dengan akhir 1843, dengan pecahan 1 dan 2 Doit.
Koin-koin tembaga VOC ini sampai sekarang masih banyak dijumpai di pasaran. Kejadian penting kedua adalah ditutupnya percetakan uang Batavia dan Surabaya untuk selama-lamanya. Batavia ditutup pada bulan Januari 1843, sedangkan Surabaya pada akhir tahun 1843. Koin-koin cetak ulang VOC tahun 1790 inilah koin yang terakhir kali diproduksi oleh kedua percetakan uang Batavia dan Surabaya. Sejak ditutupnya percetakan uang di Jawa, maka mulai saat itu semua mata uang untuk peredaran di Indonesia dikirim langsung dari negeri Belanda.
Pada jaman Raja Willem III (1849-1890), pernah dicetak koin perak dengan nilai 1/20 Gulden (Setengah Ketip). Koin ini bentuknya sangat kecil sekali, sehingga tidak diproduksi kembali setelah cetakan kedua tahun 1855. Pada masa ini pula dicetak koin tembaga dengan pecahan 1 dan 2 ½ Sen. Koin 1 sen mulai dicetak sejak tahun 1855, sedangkan pecahan 2½ sen sejak tahun 1856. Dalam peredaranya ternyata koin dengan nilai 2½ sen itu tidak begitu populer dimasyarakat. Orang Jawa menamai koin ini dengan sebutan "Gobang" atau "Benggol". Walaupun tidak sesukses dalam peredaran, namun koin ini sangat populer dengan fungsinya yang lain, yaitu sebagai alat "kerokan".
Pada waktu Ratu Wilhelmina bertahta di Belanda pada tahun 1890-1948, timbul perang Dunia II yang sangat hebat, dimana pada tahun 1940 Jerman menginvasi serta menduduki Belanda. Keluarga Kerajaan termasuk Ratu Wilhelmina lari ke Inggris dengan memakai kapal kargo. Dan di tempat pelariannya itu, Ratu membentuk "Pemerintahan dalam Pengasingan". Koin-koin tetap dicetak, bukan di Belanda, tetapi di Amerika Serikat.
Pada koin-koin dengan tahun 1941-1945, terdapat tambahan huruf kecil di bagian belakang bawah. Hurf "D" adalah singkatan dari "Denver" (1943-1945), "P" adalah "Philadelphia" (1941-1945), dan "S" untuk "San Francisco" (1944-1945). Pada tahun 1945, setelah kekalahan Jerman, Ratu kembali ke negerinya Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1945 negara jajahanya di bagian timur telah memproklamirkan kemerdekaanya menjadi Republik Indonesia.
Pendudukan Perancis (1806-1811)
Tidak sepanjang tahun 1800 sampai dengan 1945 Belanda memerintah di koloni Hindia Belanda. Selama masa tersebut ada beberapa masa-masa interval, dimana Belanda harus menyerahkan kekuasaanya, yang pertama kepada Perancis dan yang kedua kepada Inggris. Karena pendudukan Perancis dilakukan di negeri Belanda, maka pengaruh secara langsung terhadap pendudukan Indoneisa sangat kecil sekali. Karena seluruh kontrol pemerintahan di Indonesia tetap dipegang oleh Belanda, walaupun pada saat itu Belanda merupakan jajahan dari Perancis. Namun karena pendudukan Perancis itu, maka secara tidak langsung Indonesia termasuk juga dalam kekuasaan Perancis. Tahun 1806 Napoleon mulai menduduki Belanda dan mengangkat saudaranya Louis sebagai raja di Belanda. Pada masa-masa itu koin-koin Perancis mulai dipakai di daerah Hindia Belanda. Pada tahun 1808, H.W. Daendels datang sebagai Gubernur Jendral yang baru di Indonesia. Sebelum kedatanganya, koin-koin Doit tembaga dengan tahun 1806-1810 sudah dicetak dengan desain tulisan "Java" dan lambang VOC dibaliknya. Daendels memerintahkan agar lambang VOC pada koin berikutnya harus diganti dengan nama raja (Perancis). Maka mulai tahun 1810 dicetaklah koin-koin dengan nama raja LN (Louis Napoleon), baik dengan huruf Blok maupun dengan hiasan (Ornate)Pada tahun 1811 Inggris menginvasi Jawa, dan berhasil mengalahkan Belanda. Dan mulailah babak baru pendudukan Inggris terhadap Indonesia selama lima tahun kedepanya!
Pendudukan Inggris(1811-1816)
Pada waktu Perancis menginvasi Belanda pada tahun 1806, Inggris mencoba mengambil kesempatan itu untuk merebut koloni-koloni Belanda di Nusantara. Maka pada tahun 1811 dimulailah pendaratan ke Jawa, yang berakhir sukses dengan kekalahan Belanda. Belanda akhirnya harus menyerahkan koloninya kepada Inggris. Berbeda dengan pendudukan Perancis terhadap Belanda, Pendudukan Inggris dilakukan secara langsung, dimana Belanda harus menyerahkan kekuasaanya di Hindia Belanda kepada Inggris. Oleh karenanya, sejak saat itu Indonesia secara langsung berada di dalam kekuasaan Inggris. Pada masa "The British Interregnum" untuk pertama kalinya diangkat Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jendral Inggris ditanah jajahan ex Belanda tersebut. Mulailah khasanah baru pencetakan koin-koin, dengan model atau lambang perusahaan Inggris "British East India Company" pada salah satu sisinya.Setelah kekalahan yang dialami Napoleon di Eropa, maka berdasarkan perjanjian Wina tahun 1814 Inggris harus mengembalikan Jawa dan daerah lainnya kepada Belanda. Penyerahan koloni itu baru dilaksanakan Inggris pada tanggal 16 Agustus 1816.
Jaman Pemerintahan Jepang (1942-1945)
Pendudukan Jepang di Indonesia hanya berlangsung selama tiga setengah tahun. Pada masa itu Jepang hanya mencetak satu seri koin saja, yaitu dalam pecahan 1, 5, dan 10 sen, dan semuanya dicetak pada tahun Jepang 2603 dan 2604 (tahun Masehi 1943 dan 1944). Koin pecahan 1 dan 5 sen terbuat dari alumunium, sedangkan 10 sen terbuat dari timah. Pada koin nominal 5 dan 10 sen, di bagian muka terdapat gambar wayang, sedangkan nominal 1 sen terdapat gambar kepala wayang. Di bagian belakangnya terdapat tulisan Jepang, JAVA, nominal (5 Sen), dan tahun Jepang 2603/04.Jaman Pemerintahan Republik Indonesia (1945-sekarang)
Pemerintahan Sukarno (1945-1967)
Seri koin-koin dengan gambar Sukarno juga dicetak untuk peredaran khusus Kepulauan Riau. Koin-koin dengan tahun 1962 (dicetak tahun 1963) ini terbuat dari alumunium, dan terdiri dari pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 sen. Koin-koin ini ditarik dari peredaran dan dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 30 September 1964. Pada pinggiran semua koin seri Kepulauan Riau ini, tertera inskripsi "KEPULAUAN RIAU".
Pada masa pembebasan Irian Barat (dulu Netherlands New Guinea), yang berlangsung dari tahun 1961 sampai dengan 1963, juga dicetak koin-koin seri Sukarno, dengan desain yang sama persis dengan seri kepulauan Riau. Seri ini dicetak khusus untuk peredaran di Irian Barat, dan bertahun 1962 (Dicetak tahun 1964). Namun akhirnya dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Desember 1971. Untuk membedakannya dengan seri Riau, koin-koin seri Irian Barat dengan nominal 1, 5, dan 10 sen, mempunyai pinggiran polos (Plain) dan tidak ada inskripsi apapun. Sedangkan koin dengan nominal 25 dan 50 sen, pada pinggiran koinya adalah bergerigi (Reeded). Koin-koin seri Riau cukup sulit didapat di pasaran lokal.
Pada masa Sukarno, banyak dicetak koin-koin "Pattern" atau "Proof" dengan bahan alumunium. Koin-koin "Pattern" pecahan 50 sen dengan gambar Sukarno dicetak pada tahun 1962. Tahun itu juga terdapat koin Pattern dimana kedua sisi depan dan belakangnya sama ( 50 Sen dalam untaian padi dan kapas). Tahun 1965 dicetak koin proof dengan desain tahun 1965/62. Juga pada tahun 1963 dicetak koin senilai Rp 2½ dengan gambar Sukarno dibagian depan. Pada bagian sisi sampingnya, koin ini mempunyai inskripsi: "BHINEKA TUNGGAL IKA".
Pemerintahan Suharto (1967-19998)
Peringatan 50 tahun Kemerdekaan Indonesia tahun 1995 diabadikan dalam koin-koin dengan wajah Suharto. Koin-koin ini terdiri dari satu set, dimana koin dengan nominal Rp 300.000 (berat 17 gram) mempunyai desain muka Suharto yang sedang berdialog dengan penduduk. Sedangkan nominal Rp 850.000 (berat emas 50 gram), yang menggambarkan wajah penuh Suharto sedang menghadap kedepan.
Satu hal yang perlu dicatat dalam numismatik Indonesia, adalah dicetaknya koin dengan bahan Bi-Metal (dua bahan sekaligus). Koin ini pertamakalinya dicetak pada tahun 1993 dengan nominal Rp 1.000, dengan gambar pohon kelapa. Pada bagian lingkaran luar terbuat dari Copper-Nickel, sedangkan lingkaran dalamnya terbuat dari bahan Brass (kuningan). Inilah satu-satunya koin Bi-Metal yang pernah dicetak oleh Indonesia sampai saat ini.
Koin alumunium-Bronze nominal Rp 500 dengan gambar bunga melati, mulai dicetak pada tahun 1991. Lalu pada tahun 1997 dicetak lagi koin dengan pecahan Rp 500 dengan desain Bung Melati yang telah disempurnakan. Koin ini merupakan koin terakhir yang dicetak pada masa kepemimpinan Suharto, sebelum beliau digantikan oleh B.J Habibie setelah kerusuhan melanda Jakarta pada tanggal 21 Mei 1998.
Pemerintahan B.J Habibie (1998-1999)
Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001)
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur disumpah menjadi presiden setelah beliau memenangkan pemilihan presiden oleh MPR pada bulan Oktober 1999. Sayang, pada masa pemerintahanya hingga tanggal 23 Juli 2001, tidak ada koin-koin dengan desain baru yang pernah dicetak. Tahun 2000 hanya dicetak satu koin pecahan Rp 1000 Bi-Metal yang diambil dari desain lama.Pemerintahan Megawati Soekarnoputri (2001-2004)
Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (2004-..)
Susilo (atau lebih dikenal dengan sebutan SBY) dan Jusuf Kalla, dilantik sebagai Presiden RI yang ke-6 dan wakil Presiden pada tanggal 20 oktober 2004, setelah memperoleh suara terbesar dalam pemilu tahun 2004. Pemilu tahun 2004 tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai Pemilu yang untuk pertama kalinya dilakukan secara langsung oleh dan untuk rakyat. Namun setelah setahun pemerintahannya, belum ada satupun mata uang baru yang telah dicetak. Kita harapkan saja akan segera dicetak uang-uang dengan desain yang menarik dan terbuat dari logam yang lebih baik dari sebelumnya (seperti Bi-Metal), yang akan menambah koleksi dan perbendaharaan mata uang Idonesia.Seperti telah kita ketahui bahwa sangat jauh sekali perbedaan antara desain dan mutu mata uang yang dicetak pada tahun 1993 kebawah (termasuk desain lama dengan versi baru) dibandingkan dengan cetakan mata uang seperti sekarang ini beredar (tahun 1994 keatas). Coba lihat dan bandingkan antara cetakan dari kedua periode diatas, dimana yang desain dan mutu mata uang tahun 1993 kebawah lebih menawan dibandingkan dengan cetakan cetakan sesudahnya. Hal ini dapat diindikasikan bahwa kondisi perekonomian Indonesia pada periode itu, yaitu sampai dengan setelahnya. Seperti telah diketahui bahwa sejak tahun 1998, kondisi perekonomian Indonesia sedang sakit parah, dan masih belum bisa kembali sembuh hingga saat ini.
Mata uang lainnya
Selain beraneka ragam mata uang yang telah diceritakan diatas, masih banyak mata uang lainya yang dulu pernah beredar di bumi Indonesia ini. Bukan hanya koin-koin dari Jawa seperti Banten, Cirebon, Sumenep, tetapi juga koin-koin bersejarah dari luar Jawa telah menggunakan mata uangnya sendiri pada kurun waktu yang telah lama sekali.Kerajaan-Kerajaan Di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep)
Setelah kedatangan Cornelis de Houtman dengan armada dagang Belanda untuk pertama kalinya di tanah Jawa pada tahun 1595, maka Banten menjadi daerah rebutan perusahaan-perusahaan Belanda. Pada waktu VOC didirikan pada tahun 1602, pertama kalinya mereka mendirikan markasnya di Amboina, Maluku. Tiga Gubernur Jendral VOC yang pertama bermarkas di pulau rempah-rempah itu. Namun Amboina dirasa kurang strategis, sehingga dicari alternatif lain untuk membuka kantor dagangnya yang baru, yaitu Banten.
Ternyata di Banten mereka kalah dalam bersaing dengan pedagang-pedagang mancanegara lainya, karena pangeran Banten tidak mau menyerahkan monopoli rempah-rempahnya ke tangan VOC. Akhirnya pada tahun 1610 VOC menyewa sepetak tanah di Jayakarta (Sekarang Jakarta) dari pangeran Jayakarta. Pada waktu itu Jakarta termasuk dalam daerah kekuasaan Banten. Dari sepetak tanah, VOC kemudian membangun sebuah Kastil serta benteng-benteng pertahanan di sekelilingnya. Persewaan tanah itu akhirnya menimbulkan permusuhan antara VOC dengan Banten. Pada tahun 1618, pasukan Banten, Pangeran Jayakarta, beserta sekutunya Inggris, mengepung dan menyerang benteng VOC. Pertempuran besar terjadi akhirnya pada tanggal 30 Mei 1619 tentara VOC dibawah pimpinan Jan Pieterzoen Coen, dapat memukul musuh-musuhnya. Istana Sultan Jayakarta dibumi-hanguskan dan kerajaan Banten diporak-porandakan. Dari reruntuhan itu akhirnya dibangun Kastil Batavia sebagai markas besar VOC di Hindia Belanda. Sedangkan Inggris sendiri setelah kekalahanya di Jayakarta mereka lari ke Sumatra dan mendirikan markas besarnya di Bencoolen (Bengkulu)
Koin-koin dari Kesultanan Banten dibuat sekitar tahun 1550-1596 Masehi. Bentuk dari koin Banten mengambil pola dari koin Cash Cina yaitu dengan lubang ditengahnya dengan 6 segi pada lubangnya itu. Inskripsi pada bagian muka pada mulanya dalam bahasa Jawa kuno: "PANGERAN RATOU", nama dari Sultan Banten waktu itu. Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten, Inskripsi diganti dengan tulisan dalam bahasa Arab.
Demikian pula dengan pola koin-koin dari Kesultanan Cirebon, yang mengambil bentuk seperti pola koin Cash Cina. Koin-koin Cirebon dibuat kira-kira tahun 1742 dimana saat iu berkuasa Sultan Sepuh. Koin dengan bahan dari timah dengan lubang ditengah itu, pada bagian muka tertulis inskripsi: "CHERIBON".
Kerajaan Samudra Pasai dan Aceh
Kerajaan Palembang
Ciri khas dari koin-koin Palembang adalah mempunyai lubang di tengahnya, seperti koin cash dari Cina. Koin-koin Palembang disebut Pitis Teboh atau Pitis Lubang (Teboh adalah lubang dalam bahasa Palembang). Banyak sekali jenis-jenis koin Palembang yang pernah dicetak seperti diuraikan pada buku Millies No. 182-209. Gambar koin ini adalah contoh Pitis Teboh dari Palembang, dengan bahan tembaga dan bertahun AH 1198 (Sekitar tahun 1774/75 Masehi).Kerajaan-Kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin dan Maluka)
Kesultanan di Kalimantan lainnya yang mencetak mata uangnya sendiri adalah Kesultanan Banjarmasin yang terletak di Kalimantan Selatan. Koin-koin Banjarmasin juga sangat sulit untuk didapatkan, dan mulai dicetak kira-kira pada saat bertahtanya Sultan Tamjid Illah III (1785-1808). Koin ini mempunyai labang VOC, dan mempunyai tahun AH 1221 (Millies # 226).
Kerajaan lain di Borneo adalah Kerajaan Maluka. Penjelasan menenai kerajaan ini dimuat dalam artikel tersendiri berjudul "Rajah Putih Dari Borneo".
Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi (Gowa & Buton)
Makasar merupakan pusat perdagangan VOC di wilayah Indonesia bagian timur, Untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di daerah tersebut, maka setelah berhasil menaklukkan Ternate dan Tidore, VOC mulai merancang misi untuk menaklukkan Kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan, yang merupakan rival berat bagi VOC. Berkat peperangan antara Aru Palaka dari Bugis, yang dibantu oleh pasukan VOC, dengan Sultan Hasanuddin dari Gowa, maka akhirnya Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya pada tanggal 18 November 1667. Dalam perjanjian tersebut dicantumkan bahwa wilayah Minahasa, Bitung dan Sumbawa yang tadinya termasuk dalam wilayah Kesultanan Gowa harus diserahkan kepada VOC. Dan semua pedagang-pedagang Eropa selain daripada VOC, dilarang untuk melakukan perdagangan di wilayah bagian timur tersebut.Mata uang ini adalah koin emas Dinara Sultan Hasanuddin dari kerajaan Gowa yang memerintah pada tahun 1653-1669. Pada bagian muka tertulis: "Sulta Hasa-al-din". Sedangkan di bagian belakang adalah "Khada Allah Malik wa Sultan Amin" atau "Pejuang Allah Kerajaan Sultan Amin". Berat 2.46 gram dengan diameter 19.50 mm. (Millies # 285). Adapun gelar Kesultanan Hasanuddin adalah "I Mallombasi Muhammad Bakir Dg Mattawang Krg. Bontomangape".
Satu lagi koin emas dinara dari kerajaan Gowa, Sultan Alauddin Awwalul Islam yang berkusa pada tahun 1593-1639. Berat 0.6 gram dengan diameter 20 mm. Sultan Alauddin ini adalah Sultan Gowa pertama yang beralih ke agama Islam. Bagian depan: "Sultan Alaudin", dan bagian belakangnya: "Masruf.....". (Millies # 279). Adapun gelar kesultananya adalah: "I Mangarangi Dg Manrahia A. Alauddin Awwalul Islam Tumenanga ri Gaukanna" atau disingkat "Matinroe Agamanna".
Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara mempunyai bentuk mata uang yang sangat unik, yang dinamakan Kampua. Uang Unik dengan bahan kain tenun ini merupakan satu-satunya yang pernah beredar di Indonesia. Menurut cerita rakyat Buton, Kampua pertama kali diperkenalkan oleh Bulawambona, yaitu Ratu Kerajaan Buton yang kedua, yang memerintah sekitar abad XIX. Setelah Ratu meninggal, lalu diadakan suatu pasar sebagai tanda peringatan atas jasa-jasanya bagi kerajaan Buton. Pada pasar tersebut orang-oraang yang berjualan mengambil tempat dengan mengelilingi makam Ratu Bulawambona. Setelah selesai berjualan, para pedagang memberikan suatu upeti yang ditaruh diatas makam tersebut, yang nantinya akan masuk ke kas kerajaan. Cara berjualan ini akhirnya menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Buton, bahkan sampai dengan tahun 1940!
Dalam proses pembuatan dan peredaran uang Kampua ini, mandat sepenuhnya diserahkan kepada Mentri Besar atau yang disebut "Bonto Ogena". Dialah yang akan melakukan pengawasan serta pencatatan atas setiap lembar kain Kampua, baik yang telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong. Perhitungan mengenai situasi dan kondisi wilayah, serta jumlah perkembangan penduduk yang ada, perlu diperhitungkan agar jumlah peredaran Kampua tetap dapat dikontrol dan tidak menimbulkan inflasi. Pengawasan oleh "Bonto Ogena" juga diperlakukan agar tidak timbul pemalsuan-pemalsuan, sehingga hampir setiap tahunnya motif dan corak Kampua akan selalu dirubah-rubah.
Setelah kain-kain selesai ditenun, kemudian dipotong-potong untuk menjadi uang Kampua. Pemotongan lembaran kain menjadi Kampua itu juga ada prosedurnya yang juga ditentukan oleh Mentri Besar. Cara memotongnya adalah dengan mengukur panjang dan lebar Kampua, dengan cara: ukuran empat jari untuk lebarnya, dan sepanjang telapak tangan mulai dari tulang pergelangan tangan sampai ke ujung jari tangan, untuk panjangnya.
Sedangkan tangan yang dipakai sebagai alat ukur adalah tangan sang Mentri Besar atau "Bonto Ogena" itu sendiri! Oleh karenanya ukuran lebar dan panjang Kampua yang diproduksi tidak selalu sama, tergantung dari panjang pendeknya ukuran tangan Mentri Besar yang saat itu berkuasa. Jika nantinya yang menjadi Mentri Besar mempunyai tangan yang pendek, maka ukuran Kampua akan menjadi pendek pula. Sebaliknya jika "Bonto Ogena" mempunyai tangan yang lebih panjang, maka hasil Kampua akan menjadi lebih panjang, sesuai dengan ukuran tangannya!
Pada awal pembuatannya, standar yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu "bida" (lembar) Kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Namun perkembangan selanjutnya, standar ini diganti dengan nilai "boka", dimana satu bida sama dengan 30 boka. Boka adalah suatu standar nilai yang umum digunakan oleh masyarakat Buton, yang biasanya digunakan pada waktu upacara-upacara adat perkawinan, kematian dan sejenisnya.
Namun setelah Belanda mulai memasuki wilayah Buton kira-kira tahun 1851 fungsi kampua sebagai alat tukar lambat laun mulai digantikan dengan uang uang buatan "Kompeni". Sampai akhirnya nilai Kampua menjadi sangat tidak berarti, dimana pada waktu itu nilai tukar untuk 40 lembar Kampua sama dengan 10 sen Doit tembaga, atau setiap 4 lembar Kampua hanya mempunyai nilai sebesar 1 sen saja! Walaupun demikian, Kampua tetap digunakan pada desa-desa tertentu di Kepulauan Buton sampai dengan tahun 1940!
British East India Company di Sumatra
Koin pertama kali dicetak oleh Inggris sewaktu menempati pos di Fort York adalah koin tembaga yang dicetak kira-kira tahun 1695, dan dapat diidentifikasi sebagai Madras 5 (Friedberg).
Pada bulan Maret tahun 1818, Inggris menunjuk Sir Stamfort Raffles untuk menduduki posnya yang baru di Bengkulu. Rafles juga pernah menjadi penguasa di Jawa pada tahun 1811-1816. Selama pemerintahannya di Jawa, Raffles banyak sekali menerbitkan buku-buku yang luar biasa mengenai Jawa.
Berdasarkan perjanjian Inggris dan Belanda pada tanggal 17 Maret 1824, Inggris akhirnya harus menyerahkan Bengkulu dan semua penduduknya di pantai barat Sumatra kepada Belanda. Sedangkan Belanda menyerahkan jajahannya Malaka ke tangan Inggris, dan memperbolehkan Inggris mendirikan koloni di Singapura.
Token-Token Perkebunan dan Pertambangan
Token dalam arti luas adalah alat yang biasanya dibuat oleh pihak swasta atau non-pemerintah, untuk tujuan sebagai alat tukar menukar, iklan, jasa atau untuk tujuan lainya. Ciri khusus dari pada Token adalah hanya berlaku dan terbatas pada suatu tempat dimana token tersebut dibuat. Uang token (atau biasa disebut sebagai Token), adalah suatu alat atau benda yang biasanya dikeluarkan oleh pihak swasta, untuk tujuan sebagai alat tukar menukar, dengan suatu nilai tertentu dan dalam daerah peredaran yang sangat terbatas. Sebagai contoh token kasino adalah koin yang hanya dapat digunakan di kasino tempat token tersebut dicetak. Koin dari kasino A hanya dapat digunakan di kasino A. Koin kasino A tidak dapat digunakan di kasino B atau C, atau sebaliknya. Sedangkan token perjalanan, seperti tiket kereta api, bis, pesawat, kapal api dan sebagainya, mempunyai nilai dan hanya dapat digunakan di tempat tiket tersebut diterbitkan.
Setelah selesainya perang Jawa tahun 1825-1830, kondisi keuangan Belanda sangatlah morat-marit karena banyak tersedot untuk membiayai peperangan di Jawa ini. Perang yang berlangung selama 5 tahun, dari bulan Mei 1825 sampai dengan Maret 1830, dikenal dengan nama "Perang Jawa" atau "Perang Diponegoro", dimana kira-kira 8.000 orang-orang Eropa (termasuk Belanda) dan lebid dari 7.000 pasukan Jawa menjadi korbannya. Pada waktu itu, jumlah penduduk Yogyakarta telah berkurang hampir setengahnya!
Guna mengisi kekosongan kas negara, maka Belanda melalui Gubernur Jendral Van den Bosch mulai memperkenalkan sistem tanam paksa yang dinamakan "Kultur Stelsel" (Cutuurstelsel). Sistem Kultur Stelsel ini ternyata berjalan sangat baik, yang membuat keadaan keuangan di Belanda menjadi membaik, bahkan surplus. Semenjak masa itulah mulai banyak didirikan usaha-usaha perkebunan, baik perusahaan-perusahaan dari bangsa Belanda sendiri, ataupun dari bangsa Eropa lainya, seperti Jerman, Perancis, bahkan dari bangsa Asia, yaitu Jepang!
Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan uang-uang tokennya, baik token perkebunan maupun token pertambangan. Pada jaman pemerintahan Belanda tempo dulu, di pulau Jawa dan terutama di Sumatra, banyak sekali perusahaan swasta yang mengelola lahan perkebunanya sendiri. Mereka diberi hak untuk membuka hutan guna dijadikan lahan perkebunan, serta diberi ijin untuk membuat mata uangnya sendiri yang akan digunakan dikawasannya sendiri. Mata uang tersebut dinamakan Token perkebunan (Plantation Token), yang mana mempunyai area peredaran sebatas pada daerah perkebunan itu sendiri.
Lahan-lahan perkebunan di Sumatra mulai dibuka sejak tahun 1863 sampai dengan tahun 1919. Pada mulanya diperkenalkan tanaman tembakau di daerah Deli. Dari sini berkembang perkebunan-perkebunan baru yang dibuka, dengan bermacam-macam tanaman yang diusahakan, seperti karet, coklat, dan lain-lain. Namun tanaman yang paling utama adalah tembakau. Karena banyaknya lahan-lahan perkebunan yang dibuka, maka timbul persoalan mengenai kebutuhan tenaga kerja. Tenaga kerja lokal pada umumnya tidak mau bekerja di perkebunan-perkebunan itu, karena disamping tempatnya yang sangat jauh, mereka juga mempunyai keluarga yang tidak mungkin ditinggalkan. Untuk mengatasi keadaan tersebut, maka didatangkan tenaga-tenaga kerja berasal dari Jawa, dimana mereka bersedia tinggal di daerah-daerah perkebunan yang terpencil itu. Sejak saat itu ratusan kapal-kapal besar mondar-mondir Jawa Suamtra untuk mengangkut tenaga-tenaga kerja Jawa yang akan ditempatkan pada perkebunan-perkebunan di Sumatra.
Para pekerja akan dibayar upahnya dengan memakai token yang dikeluarkan oleh masing-masing perusahaan. Dan untuk mencukupi kebutuhan para pekerjanya, maka di tiap-tiap perkebunan mempunyai toko yang menyediakan berbagai macam kebutuhan pokok maupun kebutuhan sehari-hari. Para pekerja dapat membelanjakan uangnya di toko-toko yang telah disediakan. Dan sekali lagi, bahwa token ini tidak berlaku dan tidak dapt dibelanjakan ditempat-tempat perkebunan lainya.
Daerah-daerah di Sumatra yang dibuka luas untuk lahan perkebunan, terutama di Sumatra Utara (Langkat, Deli Serdang, Asahan, Siak, Labuan Batu, Tamian) dan Sumatra Barat (Bedagai, Batu Bahra, Padang). Daerah itu terdapat beratus-ratus perusahaan swasta yang mengelola perkebunan, dan bukan saja dari Belanda sendiri, tetapi juga yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan asal Jerman. Perkebunan Binjey dikelola oleh perusahaan swasta asal Jerman sejak 1884. Perusahaan tembakau ini mengeluarkan tokennya dalam berbagai pecahan, dimana pada gambar adalah token dengan nilai 1 Dollar. Pada bagian depan terdapat tulisan: "UNTERNEHMUNG BINJEY, Gut Fur 1 Dollar, 1890".
Token dari dari perkebunan "SILAU" di Asahan, mempunyai pecahan dari 1 Dollar; ½ Dollar, 1/5 Dollar sampai pecahan 1/10 Dollar. Pada sisi depanya tertulis: MUNT VAN DE ASAHAN TABAK MAATSCHAPPIJ "SILAU", 1 DOLLAR. Sedangkan di bagian belakang terdapat tulisan: ATMS, dengan tulisan bahasa Cina dalam lingkaran d itengah. Perusahaan ini berdiri kira-kira tahun 1890, dimana pada mulanya dikembangkan tembakau sebagai tanaman utamanya. Namun kira-kira tahun 1913 perusahaan mulai mengembangkan tanaman karet disamping tembakau. Token-token ini terbuat dari nikel dan kupro-nikel.
Token dari Perkebunan Tanah Radja mempunyai bentuk yang tidak biasa, yaitu bentuk segi tiga. Token yang dikeluarkan kira-kira pada tahun 1890-1898 ini dicetak oleh perkebunan "UNTERNEHMUNG TANAH RADJA", yang terletak di daerah Asahan. Disamping tembakau, perusahaan juga mengelola perkebunan karet. Perusahaan Indonesia Bakrie & Brothers pernah pula mengelola perkebunan Tanah Radja.
Token dengan nilai 1 Dollar dari perusahaan "UNTERNEHMUNG GOERACH BATOE" di Asahan dicetak dalam 2 nominal yang berbeda, dimana pecahan yang satu mempunyai nilai "GUT FUR 1 DOLLAR", sedang pecahan yang lainya berharga "GUT FUR 1 DOLLAR REIS", atau "1 Dollar Beras", atau artinya kira-kira "Dapat dipakai untuk membeli beras seharga 1 Dollar".
Sedangkan perkebunan tembakau "de Guigne Freres" di Soengei Sikambing, Deli, mencetak tokennya dengan nilai 2, 3 atau 4 Gantang Bras. Adapun berat untuk satu gantang beras kira-kira 8,5 liter.
Di pulau Jawa sendiri walaupun tidak sebanyak di kawasan Sumatra, ada beberapa perkebunan Argasari yang terletak di Gunung Halimun, desa Cipeundeuh. Shcolten mengatakan bahwa Argasari adalah perkebunan Teh, Sedangkan A.J Lansen menyebutnya sebagai perkebunan Kina token-token ini juga dicetak dalam beberapa pecahan, dimana bagian muka tertulis (sesuai dengan nominalnya): "EEN HALF ARBEIDSLOON" pada lingkaran atas, dan tulisan Jawa pada lingkaran bawah. Nominal di bawah lubang, dengan dua buah tangkai daun kina di kiri dan kanannya. Sedangkan pada bagian belakang adalah: "ONDERNEMING ARGASARI,1892". Dua buah silangan cangkul (?) di lingkaran tengah. Pada gambar terlihat cetak tindih angka "1" pada token nominal ½ Arbeidsloon. Menurut referensi yang ada, token-token Argasari dicetak hanya dalam pecahan 2½ , ½ Arbeidsloon, dan pecahan 20 Sen. Karena kebutuhan token dengan 1 Arbeidsloon, maka kemungkinan dilakukan cetak tindih nominal "1" pada token pecahan ½ ini.
Didaerah Limbangan, Penembong, Garut, juga terdapat perkebunan teh "WASPADA". Token yang dicetak pada tahun 1886-1895 ini, hanya pada sisi mukanya saja yang dicetak, dengan nominal 10, 5 dan 1 Cent dengan tulisan Jawa (atau Sunda?).
Di daerah Jawa Barat lainnya, yaitu di perkebunan teh Tjirohani di Sukabumi, terdapat token dengan nominal 8 sen yang sangat unik. Token ini dibuat dari bambu, satu-satunya token bambu yang pernah dibuat di Indonesia. Untuk lebih jelasnya tentang uang bambu ini, silahkan baca artikel tentang Uang Bambu Dari Tjirohani, Sukabumi.
Di Jawa timur terdapat beberapa perkebunan yang mencetak matauangnya, seperti "SOEMBER DOEREN", "SOEMBER REDJO", "SOEMBER SOEKA", "SOEMBER TANGKEP", "SOEMBER TEMPOER", yang semuanya terletak di desa Turen, Malang. Token tembaga dari perkebunan Soember Doeren ini mempunyai nominal 50 Sen, dan dicetak antara tahun 1891-1912.
Perusahaan pengembangan tanaman coklat, kopi dan karet. Perkebunan "BOEMIE AJOE" di sumber Nongko, Malang, mencetak tokennya pada tahun 1890-1900. Hanya ada dua pecahan yang dicetak, yaitu dengan nominal 50 dan 25 Sen.
Satu lagi lokasi perkebunan yang paling jauh, adalah di pulau Bacan, Ternate. Keberadaan token dari Bacan ini sangat langka sekali, dibuat dari bahan nikel pada tahun 1892-1911. Pada sebelah mukanya terdapat tulisan: "ROTTERDAM BATJAN CULTUUR MAATSCHAPPIJ". Pada bagian belakangnya adalah: "GOED VOOR 1 GULDEN".
Demikian usai sudah rangkaian panjang dari artikel sejarah perkembangan mata uang Indonesia. Tujuan utama dari penerbitan tulisan artikel ini adalah untuk pembelajaran, baik kepada masyarakat numismatik maupun kepada masyarakat umum, agar mereka semua tahu mengenai sejarah dari mata uangnya sendiri, Indonesia. Dengan mengetahui sejarahnya, kita akan lebih mengenal mata uang itu sendiri, yang pada akhirnya diharapkan akan menimbulkan minat dan hasrat bagi masyarakat untuk memulai mengumpulkan mata uang guna dijadikan koleksi.
Comments
Post a Comment
Terimakasih telah membaca. komentar Anda sangat bermanfaat untuk penigkatan kualitas blog ini